Cerpen Menjauh dari Laut, Melangkah pada Maut - Karya Mudiyatus Solehah

Pada serebah kayu tua yang mulai menginjak renta,

sepasang kekasih berusia senja menghabiskan sorenya di laut tua.

 

Mbah Pardjo dan Mbok Siti namanya.

Sepasang suami istri yang masih setia menatap bentang laut di hadapannya; dengan tatapan kaku yang diusahakan tenang, pula dengan pikiran ribut yang tak berhenti runyam. Mereka memangku rindunya, berharap kisah-kisah dibaca perlahan dari lembar per lembar kenangan. Terlepas dari pergi yang takkan lagi menggubris kata pulang.

Berada di pinggir pantai seperti ini adalah keinginan mereka berpuluh purnama silam, tetapi tak kunjung dituruti oleh anaknya. Setelah berkali-kali memaksa, akhirnya anak Mbah Pardjo dan Mbok Siti termasuk menantu dan cucunya mengantar sepasang kekasih yang amat rindu tersebut kepada laut.

Mbok Siti termangu kala tak sengaja menatap jari tangannya yang terdapat cincin melingkar persis rapi di jari manisnya. Sambil menatap selingkar cincin, ingatannya terlempar tatkala pertama kali dirinya bertemu dengan Mbah Pardjo, seorang nelayan.

Keduanya bertemu di pantai ini. Waktu itu, Mbah Pardjo yang baru selesai dari melautnya menawarkan ikan pada para penjual.

Larang, moh aku[1].” Ujar Mbok Siti kala itu.

Loh, loh, loh, iwak-iwakku apik iki, gedhe-gedhe lan seger-seger[2].” Sanggah Mbah Pardjo dengan wajah jenakanya.

Dari situ mereka saling mengenal, bertukar tawa pula menaruh hati, dan tak lama setelahnya mereka memutuskan menciptakan sebuah rumah di tepi pantai yang setiap harinya memiliki kehangatan. Hingga lahirlah Parni, anak perempuan mereka satu-satunya.

Sedangkan dalam keheningan ombak dan tulus laut, Mbah Pardjo mengalihkan perhatiannya pada pedagang es kelapa muda yang saat ini dikunjungi oleh anaknya; Parni, serta menantu dan cucunya. Mereka terlihat tertawa lepas, walau tadinya penuh paksaan untuk pergi ke tempat yang sekarang mereka kunjungi.

            Pandangan Mbah Pardjo tertuju pada sebuah keluarga kecil, keluarga Parni. Sontak ingatan Mbah Pardjo bergesa terlempar pada saat anaknya ingin dilamar seorang lelaki kaya dari kota.

            “Pak, David itu laki-laki baik. Walaupun dia berasal dari kota dan kaya, dia bukanlah laki-laki sombong. Ayolah Pak, kapan lagi keluarga kita bisa jadi kaya, jika tidak dengan aku dinikahi oleh lelaki kaya. Memangnya Bapak tidak mau merubah nasib keluarga kita? Sampai kapan kita miskin seperti ini? Tiap hari makan ikan. Bosan Pak.” 

Itulah kata-kata yang dilontarkan Parni kala David suaminya, datang ke rumahnya untuk melamarnya. Sejujurnya Mbah Pardjo tidak menyetujui hubungan itu. Yang Mbah Pardjo tahu, David memang anak kota yang kaya raya, memiliki perusahaan pabrik besar di mana-mana, dan salah satu penyumbang limbah pabrik di laut tempatnya mencari nafkah bekerja. Sedangkan di sisi lain, Mbah Pardjo sudah merasakan nyaman dengan hidup sederhana sebagai nelayan. Baginya, selamanya laut adalah rumah paling meneduhkan.

Namun, ia tak bisa apa-apa, Parni benar-benar mencintai laki-laki kota itu begitupun sebaliknya. Yang pada akhirnya Mbah Pardjo menyetujuinya, hingga pernikahan keduanya digelar dengan begitu megah di gedung tinggi kota.

Setelah pernikahan itu selesai, Mbah Pardjo dan Mbak Siti diboyong ke kota juga,  yang berarti meninggalkan rumah sederhana, kehidupannya, termasuk mata pencahariannya sebagai nelayan. Saat itu, terjadi perdebatan panjang. Mbah Pardjo terus menolak untuk diajak ke kota dan tidak ingin meninggalkan rumah yang telah menjadi kisah hidupnya. Bahkan, bagi Mbah Pardjo, hidup dan mati adalah laut tempatnya.

Namun, dengan segala cara, Parni membujuknya hingga Mbah Pardjo dan Mbok Siti menerima tawaran tersebut, meninggalkan rumahnya dan pindah menuruti pinta sang anak. Saat itu, air laut sedang pasang, juga dengan air mata Mbah Pardjo dan Mbok Siti, runtuh perlahan mengubah pipi menjadi pasir pantai.

Sambil duduk di serebah kayu renta bersama suaminya dengan tubuh menghadap ke laut dan senja, Mbok Siti menarik nafas panjang, melihat seorang nenek-nenek seusianya menggendong cucunya dengan kain batik panjang sembari bercanda gurau.

Tiba-tiba, ingatannya langsung terlempar pada masa silam ketika Mbok Siti ingin menggendong cucu.

            “Loh, jangan digendong dulu. Anak saya masih terlalu kecil untuk digendong dengan kain seperti itu. Biarkan dia tetap terbaring di  tempatnya.” Larang David; menantunya.

Mbok Siti yang awalnya ingin menggendong cucunya yang masih saja berusia satu minggu kala itu, mengurungkan niatnya. Air mata Mbok Siti tergenang di kepala, tidak boleh sampai runtuh ke pipi.

            “Ahh cucuku, sini-sini biar Oma gendong.” Ibu David datang dengan sang suami yang secara langsung mengambil alih anak David dan Parni dari boks bayi.      

            “Kamu tampan sekali sayang, kamu harus menjadi orang hebat untuk meneruskan perusahaan pabrik kita, ya?” Ibu David menimangnya dengan anggun.

“Gantenglah, coba lihat papanya.” David menimpali, semua tertawa.

Mbok Siti hanya bisa diam melihat semua kejadian yang baru saja dialaminya. Semenjak cucunya lahir, Mbok Siti masih belum pernah menggendongnya, atau bahkan menyentuhnya, sebab David melarang itu semua.

            Mata Mbah Pardjo dan Mbok Siti tetap memandang laut dan senja. Ombak bergerak pelan, serupa menari tentang lagu kesedihan. Dari kejauhan tampak perahu-perahu nelayan, teman-temannya dulu sedang berlayar, bersiap menangkap ikan untuk melanjutkan kehidupan. Ingatan Mbah Pardjo dan Mbok Siti melayang-layang kepada mozaik peristiwa masa silam. Terjadilah sebuah dialog bersama suara-suara ombak yang bersahutan.

            “Saya rindu tempat ini Pak, dimana kita dihormati. Segoro ae ngekei sembarang gawe awak dewe, moso anak cucu malah ora[3]. Tapi sekarang. Lihat, anak kita saja tidak bisa mengerti kita.” Mbok Siti berujar dengan tatapan akan matahari senja yang semakin menenggelam.

            “Wis toh Buk, namanya juga urip. Yang penting Parni bahagia, toh itu tujuan kita juga kan?” Mbah Pardjo berusaha berucap dengan tenang sembari mengusap punggung Mbok Siti lembut. Ia juga merasakannya, hormat yang luntur pada kultur zaman salah jalur.

Senja mulai melarutkan warna cantiknya. Abu-abunya langit dengan sekejap menghadirkan luka. Laut yang sekarang mereka pijak telah tak sama, sampah-sampah berserakan di sekujuran hampar panjang, bahkan ada pula yang sampai menggenang. Kotor dan tak indah, kata itu yang sekarang menjabat pada laut-laut Indonesia. Bukan lagi primadona yang dulunya di puja-puja.

            “Apa kamu merasa kalah?” Tanya Mbah Pardjo.

            “Ya, saya kalah. Kalah akan rindu saya sendiri, kalah akan kenangan-kenangan, dan kalah akan kebahagiaan masa depan.” Mata Mbok Siti menerawang akan masa depan.

            “Dungo, Gusti Allah mboten sare[4].”

            “Pak, Buk. Ayo pulang, wis hampir malam ini.” Teriak Parni dari kejauhan.

            Mbah Pardjo dan Mbok Siti beranjak, lalu bergerak meski amat lambat. Memunggungi laut yang telah lama mereka rindu-rindukan. Tak ada lagi tawa, hanya rindu yang semakin bergelimpungan.

            Dari agak kejauhan, tepatnya dari atas perahu, teman se-nelayanan Mbah Pardjo menyapa.

            “Pardjo, Pardjo. Enak yo uripmu saiki, wis sugih. Ora usah kemringet ngelawan ombak, ora usah ngelawan mati.[5]

            “Wis disyukuri ae, urip lan rejeki wis diatur mbek sing kuoso[6].”          

            “Wehhh Jo, suwi aku rah ketemu awakmu, ojo lali omongono iku mantumu. Ati-ati lek ngguwak limbah, dampake gede neng iwak-iwak[7].”

            “He`eh maneh gawe elek laut, puyeng aku iki[8].”

            “Iwak-iwak akeh sing ndak sehat, rezeki mampet[9].”

            “Penak sing guwak limbah wis sugih rah perlu repot, lah lek padane awak dewe yo sengsara.[10]

            David mendengar semua teriakan itu, rautnya tampak berpikir, matanya menatap Parni lekat. Ia bisa merasakan. Ada pikiran dalam mata Parni yang tak dapat disampaikan dengan cara bicara, namun dengan kesadaran rasa.

            Kepulangan David dan Parni terasa mencemaskan. Punggungnya memang perlahan menjauh dari laut, tapi detak jantungnya seperti melangkah pada maut.

 

Jember, 20 September 2023
Mudiyatus Solehah adalah Alumni SMP Nuris Jember yang pernah menerbitkan buku kumpulan Cerpen berjudul "Muhasabah Bianglala". Ia pernah meraih Juara 1 Lomba Cerpen tingkat Nasional, 2023.

[1] Mahal sekali. Saya tidak mau kalau mahal.

[2] Loh, ikan saya bagus-bagus, segar dan besar.

[3] Laut saja memberi segalanya ke kita, kok anak kita tidak?

[4] Berdoa, Gusti Allah tidak tidur

[5] Pardjo, Pardjo. Enak ya hidup kamu sekarang. Sudah kaya. Tidak perlu berkeringat melawan ombak, tidak perlu melawan maut

[6] Sudah disyukuri saja. Hidup dan rezeki sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa

[7] Jo, lama aku tidak ketemu kamu. Jangan lupa kamu bilangi itu mantumu. Hati-hati kalau membuang limbah. Dampaknya besar ke ikan.

 

[8] Iya jelek untuk laut. Pusing saya.

[9] Ikan-ikan banyak yang tidak sehat. Rezeki tidak lancar

[10] Enak yang membuang limbah sudah kaya, tidak perlu repot. Tetapi kalau kita sengsara.


Sumber sambul : bing ai

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil