“Sebentar lagi!” bahagianya dalam batin.
Ia berjalan menulikan pendengarannya. Mengabaikan segala giur yang menjanjikan. Tak peduli tawaran yang bersahut satu sama lain. Ia menerjang kerumunan orang yang seakan tak ingin beranjak dari tempat ini. Tujuannya hanya satu, sebuah tempat menenangkan di tengah riuh pasar.
3 menit 35 detik lagi
Pria itu berlari mengejar waktu yang akan habis.
2 menit 45 detik lagi
Pria itu tiba. Melepas alas yang membungkus kakinya. Menyapa sekilas pengunjung yang datang.
2 menit 12 detik lagi
Ia semakin berlari menuju tempat pembersih najis. Mengganti pakaian lusuhnya dengan baju kebanggaan.
59,8 detik lagi
Pria itu menyalakan mode on pada speaker dan meraih microfon yang tergeletak.
35 detik lagi
Ia merapikan koko dan sarungnya. Berdiri tepat di depan tempat imam.
5 detik lagi
Rasa ragu ia hapus dari dalam dirinya.
1 detik lagi
“Saatnya...” ujarnya lirih.
“Allahu Akbar Allahu Akbar...” tanpa rasa ragu, pria itu memulai dengan suara merdunya.
...
Pria berkaos putih lusuh terduduk lesu menatap langit yang layu. Kepulan awan panas menghalangi pandangan pria yang mulai mengabur.
“Bapakmu dulu pernah bilang ke ibuk lak iso anak iki lanang yo buk.[1]” pria itu mengalihkan pandangannya dari langit yang lesu pada wajah teduh di sebelahnya.
“Kenapa bapak sangat menginginkan anak laki-laki?” wajah penuh tanya menguasai pria itu.
“Ingat pesan terakhir bapakmu?” pria itu mengangguk yakin.
“Itu sebabnya bapakmu pingin punya anak laki-laki”
Sepenggal kisah itulah yang ia ceritakan padaku. Kepulan awan itu menghilang seiring kisahnya berakhir. Kalimatku tak sempat terlontar saat mata lelah itu mulai terkatup.
“Aku balek sek yo, wes wayae turu”[2] aku berucap pada pria yang masih memasang pendengarannya.
...
Dimana pria itu?
Matahari sudah menyapa dunia sejak 4 jam 30 menit yang lalu. Ayam sudah sibuk mencari makan, sedang pria itu tak kunjung datang. Biasanya ia selalu datang sebelum aku tiba, menyapaku dengan kopi panas di tangannya.
Apa pria itu sakit?
Bagaimana jika ada sesuatu yang menimpa pria itu?
Aku teringat subuh tadi. Bukan ia yang membangunkan para insan dari alam mimpinya. Aku juga tak melihat ia di belakang imam saat sholat, bukankah ia tak akan melewatkan tempat favoritnya itu?.
Dimana pria itu?
Para pelanggannya sibuk mencari punggung-punggung kosong untuk mengangkut barang belanjaan mereka. Pria yang selalu menjadi kuli panggul mereka tak kunjung datang, sedang mereka harus segera membuka warung.
...
Gubuk yang mulai keropos namun nampak masih gagah berdiri di hadapanku. Terlihat begitu jelas wanita paruh baya yang gelisah dalam duduknya. Dia tak mungkin ada di sini. Langkahku berbalik. Aku tak mungkin mengunjungi wanita yang dilanda gelisah itu untuk menanyakan putranya.
Dimana sebenarnya pria itu?
“15 menit lagi dzuhur tiba” aku berucap lirih. Meninggalkan gubuk tempat pria itu tinggal.
...
Pria itu! Aku tak salahkan? Ia berjalan gemetar menuju teras masjid melepas alas pembungkus kakinya. Ku urungkan niatku untuk menghampirinya. 1 menit lagi adzan harus berkumandang. Biarkan saja pria itu mengambil wudu dan mengumandangkan adzannya kali ini.
“Allahu Akbar Allahu Akbar...” ia mengawali dengan gemetar di sekujur tubuhnya. Bahkan hingga kalimat terakhir selesai ia lantunkan. Wajahnya dipenuhi dengan keringat yang bercampur dengan air mata.
Apa ia menangis? Ada apa?
Tubuh pria itu semakin bergetar hebat saat merapalkan doa. Setelah jama’ah kembali pada aktivitasnya, ku hampiri pria itu.
“Apa yang terjadi?”
“Aku khianat...” ia berucap lirih di sela tangisnya yang tak kunjung reda.
Ia pria baik. Semua orang tahu itu, aku siap menjadi saksinya. Tak mungkin ia berkhianat.
“Pada siapa?” pertanyaan itu lolos dari lisan yang ragu.
“Bapak.” Satu kata yang membuat lisanku tak ingin lagi melontar kata. Bukankah bapaknya sudah tiada?
“Wasiat.” Apa maksudnya? Kali ini aku tak ingin menyela, meski perkataannya membuatku bingung.
“Le, yen bapak wes ora ana, dadi muadzin sing sregep yo...[3]”di sela sakit yang mengusik tubuhnya, beliau mengucap kalimat pada remaja yang masih menggunakan putih abu abu.
“Insyaallah Pak...”remaja itu berucap dengan tangis yang ia tahan.
Pria itu semakin bergetar saat mengulang kisahnya yang lalu. Malam itu, setelah aku meninggalkannya di teras gubuk sendirian. Ia berjalan mengikuti suara yang menuntunnya. Entah seberapa jauh suara itu membawanya pergi, hingga ia tak lagi mendengarnya. Kemana suara perempuan itu? Di mana tempat ini? Pria itu mengelilingi tempat ini. Tak ada siapapun. Hanya dia seorang diri. Suara itu mirip dengan perempuan yang ia temui kemarin di pasar.
Apa kini pria itu sedang dimabuk cinta?
Tangisnya hilang berganti dengan api yang membakar amarahnya. Hanya karena sebuah khayalan seorang wanita ia melupakan wasiat sang bapak. Makian ia sorakkan pada sunyinya masjid. Menyalahkan nafsu dalam tubuhnya.
Apa ia akan berakhir tanpa seorang pasangan?
Jember, Maret 2023
[1] Kalau bisa anak ini laki laki ya bu.
[2] Aku pulang dulu ya, sudah waktunya tidur.
[3] Nak, kalau bapak sudah tidak ada, jadi muadzin yang rajin ya...
Tsaniya Putri Q. A. adalah santri SMA Nuris Jember yang sedang duduk di bangku Kelas XI IPS 2. Ia juga mengikuti Ekstrakurikuler Penulisan Kreatif Sastra