Dua orang berkelamin sejenis terduduk di pinggir kasur. Salah satunya berambut menyerupai lelaki terbalut handuk berwarna kuning yang sudah tidak cerah lagi sebab membuat banyak noda kabur. Bentukan tubuhnya mirip tangkai bunga yang lama berpuasa. Air mukanya tanpa emosi menghening kepada lantai. Di sebelahnya berambut lebih panjang sampai bahu. Dengan sisa tangan yang dipunya, tangan sebelah kiri, membekam rambut temannya dengan handuk berbeda, berwarna sama; kuning yang tidak begitu terang. Digosokkannya sampai butir-butir air habis. Sesekali ia bersenandung. Menerangi ruang redup dan menyamarkan rasa lelah.
Di sela harmoninya ia selalu berkata;
“Sudah. Tidak apa-apa.”
Selesai pun akhirnya. Ia mengajak temannya yang tak berekspresi untuk memakai bajunya sebelum gigil menggigit. Barulah mereka akan menuju meja makan menyantap piring masing-masing. Perlahan mereka berdua meninggalkan ruang kamar. Berjinjit-jinjit penuh perhatian, takut tidak sengaja menginjak bagian-bagian sepeninggalan jiwa yang belum dikubur dan genangan-genangan amis.
Masing-masing perempuan itu sudah berhadapan dengan piringnya. Yang berambut sebahu giginya tak mau berhenti mengunyah. Sedang perempuan satunya sudah berganti baju baru. Handuk di badannya sudah dilepas. Kecuali yang menyanggul di kepalanya, menutupi rambut pendek –sangat pendeknya. Sendok-garpunya belum bersidik jari. Dibiarkan terlentang. Ia lebih memilih perempuan di depannya makan lahap, satu tangan tak jadi kendala. Di tempurung otaknya banyak tanda tanya bersarang; Makanan jenis apa ini? Bagaimana teman di depannya bisa lahap? Ia sendiri mual. Melihat isi kedua piring di meja tak jauh mirip isi merah-merah dari balik kulit putih yang dilihatnya kemarin, atau tadi, mendadak lupa cara mengingat. Perempuan berhanduk kuning di kepala membiarkan perutnya kosong dari pada melahap benda yang mirip dengan isi susunan perutnya sendiri. temannya maklum, tidak kesal karena harus membuang makanan utuh malam ini.
“Sudah. Tidak apa-apa.”
Untuk menutup hari, perempuan berambut sebahu mempersilakan temannya untuk tidur di kamarnya. Mereka akan tidur bersama, dalam satu ruang, dalam satu ranjang. Bukan tanpa sebab, kamar temannya terlalu kotor untuk ditempati semalam. Banyak amis yang belum dipendam. Dan ia terlalu lelah untuk membersihkannya. Membuang isi piring tadi begitu menguras penuh energi. Selain warna pekat yang terus melekat, tidak bisa dibuang ke tempat sampah begitu saja. Harus dibakar dulu. Dihilangkan rupanya. Perempuan berhanduk kuning di kepala tidak mengiyakan pun menggeleng. Bahkan setelah temannya bilang kalimat yang biasa diucapkannya.
Langkahnya menuruti temannya. Jadilah ia berjalan mengikuti. Luas petak antara kedua kamar tidak berbeda. Sama. Peletakan barang, furniturnya, sama sederhananya. Hanya saja tidak ada bau amis, atau sisa-sisa peninggalan roh yang sengaja ditinggal masih. Perempuan berhanduk kuning itu jadi bermalam di sana. Di ranjang teman perempuannya. Handuknya masih dipakai. Lama kelamaan dia seperti menganggapnya sebagian dari tubuhnya.
Tidak sampai pagi, nyatanya dia tidak mudah menyamakan dirinya dengan tempat baru. Jadi dia diam-diam membuka selimut yang diam-diam dipasangkan temannya, diam-diam membuka pintu, pakai teknik yang sama saat ia dan temannya melangkah keluar dari kamar untuk makan malam. Bedanya, ini hanya untuk memperkecil suara dan menyamarkan langkah kaki. Bukan takut menginjak sesuatu. Diliriknya kembali sebelum dia benar-benar keluar dari kamar. Temannya tak berkutik, tak bergerak. Aman. Dia menutup kembali pintu.
Kamarnya masih bau amis. Masih berserakan tubuh pasi. Kali ini perempuan berambut kuning itu berjalan selayaknya orang-orang berjalan. Tidak peduli telapak kakinya akan berakhir bernoda. Sebelum ia meletakkan tubuhnya di atas kasur, matanya ditarik oleh sebuah tali menggantung. Tali itu diikat membuat lingkaran. Ukurannya kira-kira lebih besar dari diameter kepalanya. Seperti jelmaan patung tadi, perempuan berhanduk kuning di kepala itu bisu, hening, diam, seperti sebelum-sebelumnya, dari sebelum ia dimandikan karena terlalu banyak warna amis di tubuhnya. Lubang dari tali yang menggantung itu seperti lorong menuju dimensi lain.
Dari dalam lingkaran yang disimpulkan oleh tali menggantung, ia melihat ruangan yang berbeda dengan ruang kamarnya. Ruangan yang berdinding abu-abu kebiruan tua. Kosong. Hanya dihuni dengan satu benda; meja rias dengan cermin yang sangat besar. Perempuan berhanduk kuning itu baru menyadari sedang berhadapan dengan cermin besar di seberang sana tidak dalam sekali lirik. Butuh beberapa saat. Karena setahunya, cermin akan memantulkan apa saja yang ada dihadapannya –kurang lebih seharusnya. Alih-alih mendapati dirinya sendiri yang berdiri agak membungkuk dan handuk kuning yang lama-lama menjadi bagian dari tubuhnya, netranya melihat lain. Melihat ada kulit berwarna ungu violet pasi dan helai rambut biru kehijauan. Pandangannya kemudian beralih. Ternyata cermin pada meja rias itu benar-benar memantulkan apa yang ada dihadapannya.
Perempuan itu tak lagi menyerupai lelaki. Mendadak pendeknya memanjang cepat per detiknya sampai menyentuh lantai. Menyapa benda amis yang berceceran di lantai. Gulungan handuk sampai tidak kuasa lagi melekat di kepala. Handuk kuning sontak jatuh begitu adanya semacam tombak muncul di ujung kanan dan kiri dahinya. Seperti benteng.
Perempuan yang sudah tak berhanduk kuning tersungkur di pojokan kamarnya. Air muka si perempuan sudah tidak abu-abu lagi. Ada butir-butir mutiara di ujung kelopak matanya. Satu persatu jatuh, sampai melahirkan air terjun. Bahkan genangan merah dan sisa-sisa amis yang berceceran jadi tenggelam. Tanpa terkecuali perempuan yang ditinggal rohnya sebentar jalan-jalan, Dipendam air terjunnya.
2023
Nabila Kridayanti adalah Siswi SMA Nuris Jember yang sedang duduk di bangku Kelas XI MIPA 2. Ia juga mengikuti Ekstrakurikuler Penulisan Kreatif Sastra.