Derai Tasamuh - Cerpen Juara 1 Tingkat Nasional Karya Mudiyatus Solehah

Deras rindu terus mengaung tanpa dekap, berharap sesosok yang ditunggu datang membujurkan serangkaian senyum sebelum lelap. Kelopak kasih masih membekas, berpinta iringan manis tawa menjelajahi malam supaya lekas. Dia masih diam, tak sedikit detikpun menggubris usap lembut yang sedari tadi sang ibu belai dengan pelan. Dia tetap menatap, membiarkan jendela rapat me-lalu-lalang-kan apa saja yang lewat.

            Dia Ayyara, gadis tiga belas tahun yang tiga bulan lalu melepas pergi sang ayah tanpa teduhan pamit, membiarkannya mencari rumah baru untuk singgah yang benar-benar sungguh. Dan kini, dia sedang menetap untuk sekadar menatap, mengharap kata kembali menjadi satu-satunya pinta yang sangat dia idamkan Tuhan tuk berkehendak.

Lantas, apakah dia bisa men-tasamuh-kan luka pada malam tunggu dan tawa pada siang senang?

            Di dalam kamar bernuansa putih abu-abu, dia menatap jendela kamar yang menyorot jalan dengan mata lekat semacam cairan tinta hitam dalam cairan pekat. Dia masih menunggu, tiga bulan bukan waktu yang cepat untuk sekadar mematung menghadap jendela, sembari mengucapkan banyak-banyak harap yang begitu khusuk untuk sekadar pinta.

“Sayang, makan dulu, ya.” Sang ibu tak pernah membiarkan Ayyara terlampau sakit, walau dalam benak terdalamnya dia sangat paham, secara tidak langsung dirinyalah yang membuat sang anak patah karena perceraian yang beberapa bulan lalu baru saja ketok palu.

“Ayah akan pulang kan, Bu?

“Ayah akan kembali, kan?”

“Ayah akan kembali kesini lagi kan, Bu?”

Semua pertanyaan itu terlontar setiap sang ibu berada dalam pandang matanya. Namun, lagi-lagi sang ibu bimbang. Ingin menjawab tidak, takut Ayyara semakin mendalamkan goresannya. Jikalau mengatakan iya, apakah ia masih sanggup mengingat semua luka yang baru saja kemarin terbuang secara baik. Dan pada akhirnya jawaban sakit dari semua pertanyaan yang terlontar secara bergantian itu muncul.

            “Ayah akan kembali, tunggu saja ya.”

***

            Hari yang lalu terus berganti, tak ada hari yang lebih baik dari lusa dan sebelumnya. Tak ada sekolah, tak ada bermain, tak ada suara yang bergabung dalam sebuah percakapan. Bahkan, untuk sekadar melangkahkan kaki ke tanah luar pun rasanya enggan. Dia masih terus menghadap jendela, menunggu apa yang telah lama ditunggu muncul dari arah jalan, tatapannya berarti harap yang bermakna harus benar-benar ada.

            “Ayyara mandi yaa.

            “Sebentar lagi Bu, aku takut Ayah tiba-tiba datang.” Dia berucap dengan tatapan mata yang tetap, tak ada pergeseran dari kedua matanya. Dia benar-benar sedang menunggu.

Sang ibu kembali bungkam, tak ada kata yang telah matang untuk diucapkan. Peristiwa yang terjadi setelahnya hanyalah tangis yang keluar dalam pendam diam.

            Ayyara tidak melanjutkan sekolahnya, memilih berhenti dan mengurung diri. Pada mulanya sang ibu masih terus membujuk dengan banyak rayuan, imin-iming yang kiranya menarik perhatian. Namun tetap saja, bukan kata iya yang terbujurkan, tak lain bentakan yang tak pernah terdengar terlontar dengan berantakan.

            Semua seakan semakin berat, ketika dia tak mau lagi menginjakkan kaki pada tanah lapang. Jangankan untuk keluar dari rumah, menatap pintu utama saja dia benar-benar tak berkeinginan. Ajakan teman-temanya yang datang untuk hanya sekadar mengajak bermain, hanya dianggap angin lalang yang kebetulan tak sengaja melintas.

Dia masih setia menghadap luar jendela, matanya menatap lurus, hatinya rindu, dia ingin pergi ke masa lalu: malam dengan bianglala berputar hingga seruan kantuk terdengar dari katupan bibirnya, menggenggam kedua tangannya dari kanan ayah dan kiri ibu, menjajahi rumput hijau lapangan saat pameran pasar malam berseru dilelap kerumunan banyak mimpi. Dia sangat rindu, hatinya tak bisa bohong, matanyapun kini mulai meneteskan sakit yang begitu sesak, sekelebat bayangan indah runtuh dari pikiran yang serak.

***

            Dua puluh purnama mengisi hari dengan suka rela hingga pekan-pekan terakhir, dia masih tetap pada posisi yang sama, mengharapkan pinta yang sama, menjajarkan lukanya dengan baik secara bersama. Di balik -pemandangan semua sama-, ada beberapa yang telah berbeda dari sebelumnya. Ikan dalam akuarium yang bertengger rapi di kamarnya telah lama mati dalam keadaan air yang semakin keruh, pohon mangga yang berbujur di depan kamarnya telah berbuah dengan lebat, mirisnya beberapa mangga bosok dan dedaunan kering seringkali rontok tertiup angin, bahkan  jalanan aspal yang selalu dia tatap kini mulai tergerogoti dengan banyaknya lubang-lubang kecil. Semua persamaan ataupun segenap perbedaan yang ada tak bisa menggeser penantiannya.

Derai air mata tak kunjung kering, tetesannya terus turun menandakan hati yang seakan tak akan pernah sembuh.

Matanya mulai terbuka lebar, batinnya mulai berkecamuk dengan isi pikirannya sendiri, hatinya terus mendorong, namun raganya masih enggan untuk berkepastian berani.

Ini yang ditunggu.

Ayyara beranjak dari duduk lamanya, tangannya mengepal kuat, dadanya naik turun tergesa walau tak melakukan apa-apa.

            “Aku harus mencari Ayah, aku tidak bisa hanya diam begini.” Tuturnya dengan yakin apa kata hati.

            Kakinya mulai melangkah, pintu utama tepat berada di pandangnya. Kenop pintu terpegang dengan getaran yang kuat, dan pada akhirnya dengan doa yang membeku pintu terbuka. Pandang matanya menerobos sosok lelaki yang berada di samping ibunya, berdiri tegap di halaman rumah yang telah lama tak dia nikmati.

Senyumnya merekah. Air matanya pasrah. apakah aku harus melangkah?

            Itu bukan ayah.

            Jember, 7 Maret 2023

 

Mudiyatus Solehah adalah Siswi SMA Nuris Jember yang sedang duduk di bangku Kelas XI MIPA 2, ia juga aktif dalam Estrakurikuler Penulisan Kreatif Sastra.

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil