Cerpen Kisah Keping Kenangan Karya Nabila Kridayanti (Bag.2)

Seperti ada yang mengusik ketenangan air itu, tiba-tiba saja air itu berputar semacam ada yang mengaduknya. Warna-warna yang tadi dipantulkannya ikut luntur. Teraduk jadi satu warna; putih pasi.

Renda hanya bisa kebingungan setengah mati. Apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba airnya berubah jadi seperti itu. Seolah warna-warna tadi sekedar cat air. Renda mendekatkan wajahnya dengan air yang sudah berubah menjadi pasi itu. Barangkali sorot matanya melewati sebuah detil yang dapat mengungkap semua.

Air pasi itu menjelma kanvas. Seperti ada yang memegang kuas, terlukis wajah-wajah tokoh yang Renda cintai; Dana, Avil, Bagas, Daru, Marcel, Vania, pacarnya, dan kedua orang tuanya. Renda makin bingung menjadi-jadi. Genangan air itu seperti tahu keadaan hati Renda. Apalagi dilanjut dengan cuplikan bersamanya Renda dengan sembilan tokoh itu. Meski Renda berusaha menciptakan gelak tawanya sendirian, tak bisa dipungkiri, Renda ingin mengulang kembali dengan ke sembilan tokoh yang nihil kembali. Dalam keadaan seperti ini. Apalagi dengan kedua orang tuanya yang enggan tukar sapa lagi. Senyum yang sulit ia ukir kembali layu. Air matanya merembes.

Hati Renda membara. Ia kesal dengan genangan air itu. Tangannya mulai mengepal, ia ingin memukul, menghancurkan air itu.

Sekali dua kali ia menghantam muka air itu, menciptakan ombak kecil. Pada hantaman ketiga,  ada tangan besar muncul dari dalam genangan air menahan tangan Renda. Ia menjerit, menarik tangannya agar lepas dari genggaman tangan hitam besar itu.

“LEPASINN!!” Renda makin memberontak. Tapi tangan itu sangat kuat menguncinya.

“Diam dulu, Nona.”

“Heeh..?!?!?”

Renda makin takut mendengar suara yang ada di bawah sana. Bisa jadi setan. Roh gaib. Dugong. Pikiran renda kemana-mana. Bulu kuduknya berdiri. Suara asing itu terdengar. Tak seperti manusia. Tapi nadanya rendah, jadi tak begitu menakutkan, seharusnya.

“Kau mau ikut berpetualang, tidak?”

Renda bungkam, tak mau menjawab. Meski ia selalu lalai dengan nasihat orang tua, ia masih memegang teguh nasehat yang satu ini. Jangan berbicara kepada orang asing.

Sekali dua kali makhluk asing itu mengulang pertanyaan. Renda terus bungkam meski hatinya berdegup kecang.

Hadeh. Yasudah”

Renda seperti mati sejenak. Tiba-tiba tangan yang sedari tadi menguncinya menarik tubuhnya ke dalam air itu. Pita suaranya sekali lagi ingin berteriak. Tapi tidak ada sepeser pun suara yang keluar.

***

Renda masih sulit menganalisa apa yang sorot matanya tangkap. Saat ini ia sedang duduk di karpet terbang. Bersebelahan dengan pemilik tangan hitam besar yang menariknya tadi. Tapi tangannya tak lagi hitam, menyesuaikan seperti tangan Renda. Tubuhnya tegap dan bidang. Lebih tinggi dari tubuhnya. Memakai tuxedo rapi. Tak tahu bagaimana rupanya apakah seram seperti suaranya atau mirip Iqbaal Ramadhan karena ia memakai topeng Batara Wisnu. Tak masuk akal memang. Sama seperti apa yang dilihat mata Renda saat ini. Tak ada yang masuk akal.

Tadi setelah ia ditarik masuk ke dalam genangan air itu, Renda membayangkan dirinya akan menyelam dalam lautan penuh ikan. Jadi ia sempat menahan nafasnya. Tapi ia salah. Ia malah berada di atas langit, sempat juga bertabrakan dengan gumpalan awan-awan. Ternyata berbeda seperti kapas, dan warnanya merah muda. Begitu ia jatuh, suaranya mulai bisa lepas. Ia pikir hidupnya akan selesai sampai di situ karena sebentar lagi ia akan menyentuh daratan dan mati. Ternyata ada karpet ajaib seperti yang Aladdin punya datang menangkapnya.

Karpet ajaib itu membawa mereka berdua berkeliling. Tempat ini tak begitu luas. Seperti pulau kecil, tapi mengapung di udara. Ada pohon besar di tengah pulau. Sangat indah. Daunnya lebat, di setiap ranting digelantungi buah yang berbeda-beda. Renda dan makhluk asing itu tak banyak bicara. Kalau Renda bertanya, makhluk itu senantiasa menjawab. Kecuali kalau Renda tanya namanya, jawaban dari makhluk itu agak berbeda. Bukannya memberitahu namanya sendiri, ia malah meminta nama.

Kau mau memanggilku siapa?”

Renda bergumam sejenak, berpikir. “Xéno”

***

Renda tiba di bawah teduh dari pohon besar itu. Ada rumah yang hinggap di situ, tapi Renda tak mau masuk. Tidak sopan, itu bukan rumah miliknya. Udara di sana sejuk. Ia melihat beberapa hewan mondar mandir; kelinci, rusa dengan tanduk indahnya, merak yang mengibarkan ekornya tanpa henti, dan lainnya. Hewan-hewan itu nampak menggemaskan. Tapi agak sedikit ngeri. Bola mata mereka tertutup. Dan siapa sangka, pikirnya ia hanya akan berdua bersama Xéno disana. Lagi-lagi senyumnya mengembang ke enam temannya ada di sana juga. Tak ada yang berubah dengan penampilan mereka. Hanya saja mereka mengenakan topeng, sama seperti Xéno, tapi topeng yang dikenakan berbeda. Kalau Xéno menyembunyikan seluruh wajahnya, mereka hanya menyembunyikan matanya.

 Mereka melambai ke arah Renda. Sepertinya mereka baru sampai. Renda membalas lambai tangan mereka. Kemudian berlari, dan mereka berpelukan mirip teletubies.

Di bawah pohon raksasa sambil menikmati buah-buah manis. Di sana juga ada pacar Renda.

“Raynar mau nyanyi lagu apa?”

Kekasihnya itu tak menjawab. Hanya tersenyum. Kemudian mulai memetik senarnya. Memulai lagu yang akan dibawanya dengan berharmoni. Renda tahu lagu itu. Lagu yang pernah di tulis bersamanya.

“Semesta,

           Mempertemukan dalam waktu singkat.

    Ku sempat mengumpat mencoba membantah fakta,

           Tapi biarlah aku bisa apa? Nikmati saja alur yang ada.”

Kemudian sampai pada reff, mereka bernyanyi bersama;

“Lagi-lagi kukemari memisah diri sari nyata

                Tak mau membohongi diri tapi harus bagaimana?

               Dalam lelap kita bertemu.

                                   Selagi jumpa, bukan perkara”

Seperti itulah kisah Renda yang tak mau kehilangan keping-keping kenangannya. Di situ ia tinggal sekarang. Sayangnya orang tuanya tak ikut datang. Barangkali belum sempat menengok.

Mata adalah sumber dari segala kebohongan dan kejujuran. Xéno tahu akan hal itu. Jadi sengaja ia membuat semua mata tertutup. Ia tak ingin Renda tau bahwa dirinya tengah bersenang-senang di tengah kebohongan.

***

“Begitulah kisah Renda, Dorina. Aku seorang pengisah yang handal bukan? Aku mampu menceritakan semua cerita dari awal hingga epilog tanpa membaca naskah. Hebat bukan?”

“Tentu saja aku bisa. Cerita Renda yang baru saja aku ceritakan kepadamu, kan, kisah ku sendiri. Hahaha.”

Wanita itu melirik ke jendela. Sepertinya hujan telah reda. Ia membuka kaca jendela, menghirup udara luar yang dinginnya masih terasa. mengamati sekitar lamat-lamat. Ia tak percaya dirinya sudah sedewasa ini. Padahal saat itu ia masih berumur 17 saat tiba di sini.  

Ia membalik dirinya, berjalan ke arah Dorina. Botol susunya sudah kosong. Kini saatnya ia menggendong Dorina, menimangnya dengan lembut.

“Tidur ya, Dorina sayang. Bermimpilah dengan indah.”

Wanita itu sangat menyayangi balita itu segenap hati. Berharap buah hatinya itu akan tumbuh secantik dirinya.

Meski ia sendiri tidak tahu rupa anak itu sendiri,

Bahkan suaminya pun begitu.

***

Orang-orang berpakaian serba hitam. Menangis sambil merapalkan doa pada Tuhan. Minta diberi ketenangan. Bahkan tidak tahu sekalipun orang yang dimintai syahdu pernah mengingatnya atau tidak.

Sepasang kekasih tua yang lama tak memberi kabar duduk di sofa depan televisi. Menyaksikan tubuh yang baru saja ditemukan setelah beberapa hari tak nampak di mata, mengapung di sebuah waduk yang agaknya jauh dari kota.  

Aku kira kau bisa mengurus anak dengan baik.”

Aku juga sibuk bekerja. Dia harusnya bisa mengurus diri sendiri.”

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil