Kata sebuah kisah, rumah adalah tempat paling ramah. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak bisa memeluk keramahan dalam rumah, seperti mereka yang tersesat saat pulang karena tak tahu arah?
***
Gerimis. Radiasi awan kelabu menjawab rupa langit yang biru sendu. Lama-kelamaan air matanya merembes deras mengguyur siapa saja yang ada di muka. Angin riuh semesta merayakan mendung. Batang-batang bunga jadi pontang-panting namun berusaha seimbang. Hewan-hewan tak bermata tak mau kulitnya basah, berlarian mengincar tempat teduh.
Di atas pohon besar yang tegak, hinggap sebuah rumah yang sinar hangatnya sampai terpancar keluar. Berbanding dengan atmosfer di luar, di dalam rumah tak perlu repot-repot bersembunyi dalam selimut tebal untuk mengusir gigil. Di balik jendela kayu, terlihat seorang wanita dengan paras anindya. Tubuh tingginya berbalut gaun putih panjang. Ada beberapa bunga anyelir merah lotak di ujung roknya. Rambut hitam panjang menutupi sekujur pundaknya. Ia tak sendirian. Jemari lentikya membelai lembut kepala mungil seorang perempuan yang terlentang di atas kasur yang sama kecilnya. Di pinggir kasur, ada ukiran bertulis Dorina.
“Kau tahu ‘kan,
Cerita tentang si putri tidur yang hanya akan terbangun kalau sudah bertemu dengan cinta sejatinya?”
Wanita itu mulai berceloteh. Tangannya masih membelai kepala mungil itu. Memainkan rambut-rambut tipisnya.
“Setelah si putri tidur bertemu pangeran, dia terbangun. Kemudian menikah, diangkat menjadi ratu, hidup bahagia. Selamanya. Sungguh cerita yang indah bukan, Dorina. Tapi cerita itu cerita sampah!”
Tangan wanita itu mengambil buku dari dalam rak kecil di sebelah kasur itu. Bukunya bertulis The Sleeping Beauty diambil. Wanita itu menatapnya lamat-lamat sebentar.
“Maaf ya, Dorina. Aku telah membacakan cerita hina ini kepadamu dulu.” Kemudian melemparkannya ke sembarang arah.
Suara lemparannya cukup keras. Begitu buku itu dihempas, sempat mengenai vas bunga anyelir merah kotak di atas meja. Sanggup membuat tubuh mungil Dorina melompat sedikit. Tapi ia tak bisa bersabda apa-apa. Pita suaranya belum siap untuk mengungkap kata. Ditambah lubang bibirnya disumbat botol susu.
“Yasudah, biar aku ceritakan kisah lain saja malam ini. Aku janji kau akan suka. Ini adalah cerita tentang Rere, dan sejuta kenangan abadi.”
***
Di halaman belakang sekolah, tujuh pemuda masih dengan seragam putih kelabunya, sedang cengkrukan bersenandung tawa di bawah matahari yang teriknya sudah kandas. Bau keringat yang mendominasi minyak wangi tak jadi perkara sudah bagi lubang hidung. Angin sepoi yang mempermainkan rambut ikut membelai dahi yang terlipat perkara nomina dan abjad di papan tulis tadi. Sudah jadi rutinitas harian untuk mampir kemari sebelum pulang ke rumah.
Mereka bertujuh; Dana, Avil, Bagas, Ndaru, Marcell, Vania, dan Renda saling mengoceh apa saja yang sekiranya cocok dilontarkan untuk perjamuan di langit oranye ini. Seperti Pak Kepsek yang jengkel kepada Bagas karena pesanan ciloknya sengaja dibuat terlalu pedas, dan Avil yang puisi cintanya ditolak mentah-mentah oleh sang pujaan hati. Semuanya tertawa lepas. Seperti juri di Stand Up Comedy. Tapi tiba-tiba hening, dahi mereka berkerut kembali setelah Dana yang tadi ikut cengengesan melontarkan pertanyaan.
“Kalian mau lanjut ke mana?”
Hanya secarik kalimat biasa. Semuanya langsung menoleh ke arah satu sama lain. Mulai merenung, kontak mata mengarah ke segala arah.
Berakhir saling menghadap ke langit sore. Berharap tiba-tiba langit dengan sendirinya melukiskan diri mereka di masa depan nanti. Sedikit saja, pasti mereka senang. Setidaknya ada pandangan sedikit untuk mereka yang bahkan belum mengenali dirinya penuh. Tapi tidak, langit tetap oranye dengan sedikit gradasi antara merah dan kuning. Beberapa sayap burung melintas. Hanya itu. Tak ada lagi yang spesial. Mereka mencoba melihat sekitar. Barangkali ada inspirasi yang melintas di salah satu orang yang lewat.
Di ujung sana tak begitu jauh, tampak segerombolan bapak-bapak yang saling melempar tangkap batu-batu bata, menyusunnya dengan rapi, kemudian melapisinya dengan semen abu-abu seperti kue tart.
Membangun rumah di sebuah game memang menyenangkan. Kita bisa menyusun sesuai imajinasi kita, seolah rumah yang kita akan bangun akan kita tempati di masa depan nanti. Tapi kalau di luar permainan, membangun rumah di bawah sengatan matahari, agaknya begitu melelahkan. Pandangan mereka beralih ke arah lain.
Terdengar di telinga, beberapa guru yang telah keluar dari ruang kantor. Kalau dilihat, sepertinya hendak pulang. Mereka berjalan ke arah parkiran motor. Mereka bertujuh memandang ke mata satu sama lain. Wajah mereka berisyarat tidak enak.
“Moh aku dadi guru. Nggak kiro kuat ngadepi murid koyok kalian1”. Semua tertawa mendengar Avil yang angkat bicara.
Menjadi guru suka menjadi remeh. Tapi sebenarnya butuh mental besi. Dan menjadi guru yang benar-benar digugu dan ditiru itu tak mudah. Sepertinya di lingkungan sekitar sekolah tak ada yang dapat menjadi pencerahan mereka. Tapi cepat atau lambat, mereka harus segera mengetahui jati diri mereka untuk menentukan takdir yang akan mereka pilih di hari esok. Bahkan mereka masih asing dengan diri mereka. Mereka bukan lagi ABG memang. Tapi isi pikiran mereka selama ini masih tentang kesenangan dunia muda.
Enggan merunding perkara ini dengan orang tua bukan sepele. Tapi takut jawaban akan di sekitaran menjadi dokter dan polisi. Sedang di ruang konseling sekolah, beliau terlanjur bilang mereka anak bandel yang tak punya masa depan.
Sebentar lagi mereka akan pulang sebelum adzan maghrib berkumandang, sebelum langit gelap seutuhnya. Dilanjut dengan menyantap lauk-pauk di atas meja sebentar, membasuh sekujur kulit yang lengket, kemudian pergi ke bimbingan belajar tambahan kalau mau atau bisa belajar mandiri saja meski berujung tidur saja.
***
Renda mengayuh sepedanya untuk kembali pulang. Sedari tadi motor-motor kecepatan penuh terus menyalip dirinya. Ia mengayuh dengan lambat. Kedua kakinya tak kuasa mempercepat sepedanya. Harinya di sekolah begitu menyita sebagian besar energinya. Langit sebentar lagi gelap. Dapat dipastikan dia tak bisa sampai di gerbang rumah sebelum matahari hilang.
Tiga bulan berjalan dengan redup. Ia tak lagi mampir ke belakang sekolah setelah bel bergetar. Beberapa masih tercekat di bangku, menuntaskan tumpukan pertanyaan yang belum selesai teka-tekinya. Sisanya langsung menuju rumah, memanggil pembimbing pribadi. Renda meninggalkan sekolah dengan jiwa yang kendur.
Setiap malam minggu juga ia mengurung diri di kamar sendiri. Harusnya pacarnya datang menjemputnya untuk berkelana bersama di bawah bintang, menyeruput kopi hitam dan setiap kisahnya yang tak bosan mampir di telinga. Untuk membuat suasana makin pekat, pacarnya itu biasa mengalunkan harmoni dengan gitarnya. Mereka bernyanyi bersama, semesta jadi makin seolah milik berdua. Tapi malam-malam ini, Renda memandang langit sendirian.
Dua kilometer lagi, akan ada pertigaan. Tinggal berbelok ke kiri ia akan sampai di rumah. Langit makin gelap. Bukannya ia memiringkan stirnya, ia membiarkan sepedanya berjalan terus lurus. Renda tak peduli akan omelan ibunya nanti kalau ia belum sampai di rumah sebelum ibunya datang dari kerja malam.
Sepeda Renda sudah melampau jauh dari rumahnya. Ia hanya mengikuti arus jalanan sepi. Hanya satu dua motor yang melaju berbanding arah. Seolah ia menjadi penguasa jalanan. Sebenarnya Renda sendiri tak tahu pasti kemana. Matanya pun asing daerah situ. Bukan jalanan yang biasa dilewati. Barangkali malam ini ia ingin berpetualang jauh, sendirian. Petualangan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Bisa jadi malam ini ia ke kota seberang, atau tiba-tiba sampai di Jogja bertamasya ke Malioboro, ke Malang bermain di kandang hewan-hewan langka, atau menonton karnaval fashion di Jember. Tapi naasnya tenaga Renda sudah habis sehabisnya. Di pinggir aspal yang tak semulus alur hidup, ada bentang rumput hijau. Ia memberhentikan ayuhannya di situ.
Sepi. Ia tak melihat seorang pun di pemberhentian yang sama. Bentang hijau itu cukup luas. Ada genangan air juga di sana. Seperti kolam air, tak seluas laut atau teluk. Jaraknya tak begitu dekat dengan dirinya saat ini. Tubuhnya yang tak kuasa lagi membawa diri, jatuh begitu saja. Ia terlentang di tumpukan rumput-rumput. Ia memejamkan matanya. Terdengar suara kodok yang berharmoni semaunya, menyusun nada seenaknya. Gemeletuk jangkrik juga ikut serta mengikuti angka nadanya. Telinga Renda dimanjakan suara mereka.
Saat membuka mata, cahaya bintang hadir di muka langit. Renda mencoba menghitungnya.
“Satu, dua, tiga.., enam. tujuh.” Ia berseru sendiri.
Jumlahnya ada tujuh, seperti jumlah teman dekatnya dan dirinya. Entah inisiatif dari mana, sambil menyipit, dengan telunjuknya Renda mencoba mnggabungkan garis dari masing-masing bintang. Seolah ia tahu, akan membentuk suatu simbol.
Tapi belum sempat semua garis terhubung, tiba-tiba titik-titik cahaya bintang itu bergerak membuat pusing. Renda kebingungan. Tak hanya tujuh titik bintang, cahaya-cahaya itu muncul lebih banyak. Berlipat ganda. Dan Renda tersadar, itu bukan lagi bintang.
“Kunang-kunang.”
Dengan sepasang sayap dan cahaya yang dibawa, mereka terbang berputar mengikuti alunan kodok dan jangkrik. Renda ikut terbangun, ikut menari-nari dan berputar-putar. Suara riang keluar sendirinya dari mulut Renda.
***
Kalau saja ia tak sempat mengerem tubuhnya, Renda mungkin sudah tercebur dalam genangan air itu. Tak seperti air sungai yang ada di dekat rumahnya, airnya sangat murni. Ia bahkan bisa melihat wajahnya sendiri dan sinar kunang-kunang juga lanjut malam ikut terpantul dalam air itu, seperti cermin. Ia memangdangi wajahnya sendiri. Wajahnya yang lama, hampir tak ia kenali. Wajahnya makin berseri, bibirnya juga nampak melengkung. Lengkungnya makin melebar melihat wajahnya malam itu. Ia bisa mengundang bahagia sendiri kala itu, pikirnya. Meski tanpa ketujuh temannya juga pacarnya, ia masih bisa tersenyum lepas.
Bersambung ke Bag. 2