Karya : Nandhita Yusvira Prastika
Selasar peristiwa tersimpan, terlihat terukir di pelipis kedipan. Keringatnya selalu membentangi tubuh, namun Ia tak pernah lepas dari rasa tabah. Kurang lebih sudah satu setengah tahun bersama istrinya menyinggahi naungan ini. Kini, istrinya tengah berbadan dua, semuanya akan mereka lewati bersama hingga hari tua. Rumah yang mereka gunakan sebagai naungan memang tak semewah istana, namun sangat berarti meskipun sederhana. Di belakang rumah, Darso sedang memandangi rebuk-rebuk tanah yang bersandingan dengan bebatuan, selepas pulang dari sawah tadi, Ia diberi biji kelapa oleh salah seorang temannya terlihat subur. Ia mencari cangkul yang semata-mata digunakan untuk mengeduk tanah yang hendak ditanaminya, tanah yang digali sudah cukup untuk ukuran biji kelapa yang cukup besar. Selepas menanam biji kelapa, bajunya terlihat kotor, terdapat bercak tanah yang lembab. Tapi Ia tak peduli, Ia hanya berharap supaya pohonnya bisa tumbuh dengan baik dan anaknya cepat hadir untuk melengkapi hidupnya.
***
Terasa sakit sangat sakit, rasanya lebih sakit dari irisan pisau. Namun, semua itu terbayar saat sang Ibu mendengar suara tangisan anaknya yang membawa kebahagiaan, semula sakit yang terasa tak tertahan menjadi kebahagiaan, Ia rela bertaruh nyawa demi anaknya yang akan hadir ke dunia. Melihat hal itu Darso turut bahagia, walaupun Ia harus melihat istrinya kesakitan. Tapi setidaknya semua rasa sakit itu sudah terbayar. Kini, bersama istri dan anaknya, Darso sudah berada di rumah, sudah 2 hari sejak kelahiran anaknya, tapi Ia tak kunjung menemukan nama yang pas untuk anaknya. Angin yang segar sedang menggelitik manis badan Darso, rasanya sangat nyaman. Lalu Ia pandangi hamparan tanah di belakang rumahnya, ada suatu titik yang membuatnya tak henti memandang. Ia teringat kurang lebih sekitar 2 minggu yang lalu, Ia menanam biji kelapa pemberian salah seorang temannya, alangkah bahagianya Ia saat melihat biji yang ditanamnya telah menumbuhkan sebuah tunas yang berdiri kokoh. Pada saat itu juga Ia langsung sontak berpikir, akan memberi nama anaknya dengan sebutan Tunas. Tunas Adipoetro Dirgantoro, itulah nama yang akan Ia berikan pada anaknya. Dengan adanya nama ini Darso juga berharap supaya kelak nanti anaknya bisa berdiri kokoh layaknya tunas.
***
Sudah 15 tahun Ia hidup dengan curahan kasih sayang yang tak dapat terhitung. Rupanya tampan, badannya tinggi sama seperti lelaki idaman para wanita. Bukan hanya rupanya yang tampan tetapi juga hatinya. Leader sejati, itulah sebutannya. Bagi Tunas menjadi pemimpin pramuka tingkat penggalang bukanlah suatu hal yang mudah, butuh darah juang. Tidak hanya berhenti sampai Ia menjadi pemimpin, saat memimpin anggotanya sesekali hatinya merasa kesal karena beberapa anggotanya yang tak bisa diatur, dibalik itu semua hatinya selalu sabar dan tabah, karena Tunas yakin bahwa itu semua adalah kunci kesuksesan yang murni.
“Berjanjilah kepada Ayah dan Bunda, kita akan selalu berjuang untuk negeri. Jangan pernah lelah untuk memperjuangkan bangsa, karena sejatinya negeri terletak pada kita sendiri.” ujar Tunas menggelora saat menyampaikan orasi.
Semua anggota bertepuk tangan, salut dengan apa yang dikatakan oleh Tunas. Tak salah jika seorang Tunas dijadikan pemimpin. Mentalnya yang selalu kuat, walaupun Ia harus dicaci maki oleh regu-regu lain, bahkan temannya sendiri. Jangankan hal itu, dibentak oleh Pembina Pramuka saja, Ia tetap bersih keras untuk mempertahankan posisinya sebagai pemimpin.
***
Api unggun telah menyala mengobarkan si jago merah, apinya menggambarkan jati diri Pramuka yang semangatnya menyala-nyala. Kebahagiaan menyelimuti malam ini, tapi di hati Tunas masih ada yang tetap mengganjal, pasalnya sejak terjadi persengketaan pada beberapa temannya, Ia masih tak menemukan solusi yang tepat.
“Kepada pemimpin regu, bubarkan pasukan masing-masing.” Ujar pemimpin upacara tegas.
“Siap . . .” Ujar para pemimpin tegas, kecuali Tunas.
“Tunas, cepat bubarin.” Teriak salah seorang temannya.
Sesaat Ia langsung menggelengkan kepalanya, dengan bergerak seperti petir langsung berlari dan membalikkan badannya ke arah para pasukannya.
“Bubar barisan, jalan!” ujar Tunas tegas.
Seluruh penggalang berlarian berlalu lalang untuk menuju tenda masing-masing. Tunas berjalan, meratapi jalan yang penuh dengan keramaian, Ia merasa bersalah atas kejadian tadi. Sesekali Ia juga berpikir, apakah Ia terlalu memikirkan anggotanya, sampai Ia hilang dari titik fokus. Sesampainya di tenda, Tunas dikejutkan dengan beberapa anggotanya yang sedang berkelahi.
“Ini semua gara-gara kamu!”
“Seharusnya kamu juga sadar diri dong!”
“Hei, hei, hentikan!” ujar Tunas dari kejauhan.
Ia sudah memandangi dua temannya yang saling menarik kerah kancing satu sama lain.
“Buat apa kalian bertengkar? Masalah PBB nggak bubar? Hah apa! Jawab!” ujar Tunas dengan nada tinggi.
“Maaf Tunas, bukan gara-gara itu sebenarnya tadi, saat pelaksanaan PBB ada kesalahan yang terjadi pada diriku, maafkan aku.” Ujar temannya menunduk.
“Cuma gara-gara itu, kalaupun gara-gara PBB kita nggak menang nggak masalah, masih ada Pramuka di lain hari untuk kita perjuangkan. Ingat teman-teman Pramuka itu bukanlah perlombaan, melainkan permainan. Permainan yang menguatkan janji kita kepada Ayah dan Bunda untuk selalu berjuang kepada negeri, kalau seperti ini buat apa kalian semua bertepuk tangan pada saat aku orasi? Kalian bertepuk tangan karena salut dengan perkataanku kan? Iya kan? Lalu untuk apa kalian bertengkar hanya masalah sepele seperti itu, nggak guna kalian, Kalian itu bisanya hanya bertepuk tangan dengan perkataan, tapi kalian nggak bisa membuktikan.” Ujar Tunas menceloteh tanpa napas berhenti.
“Iya Tunas, maafkan aku juga, aku terlalu membawa masalah.”
“Ya sudah, silakan berjabat tangan atas rasa maaf kalian.” Perintah Tunas.
“Buat teman-teman aku juga minta maaf ya, tadi saat membubarkan pasukan aku sempat tidak fokus, ya itu karena memikirkan masalah ini. Tapi syukurlah semuanya tersudahi.” Ujar Tunas.
“Iya Tunas, salah kami lebih banyak daripada kamu.” Ujar salah seorang temannya.
***
Pagi ini Darso cukup gembira, karena hari ini anaknya akan kembali ke rumah. Pohon yang ditanamnya 15 tahun yang lalu berdiri sangat kokoh, harapannya kepada anaknya sama seperti pohon kelapa yang ada di belakang rumahnya. Di sisi lain, Tunas sedang berjuang mendaki bukit bersama dengan pasukannya untuk menancapkan bendera merah putih. Melewati jalan-jalan yang curam, jalan-jalan yang licin, hingga sepatunya penuh bercak lumpur. Perjalanan yang dilalui sudah 6 KM untuk mencapai bukit. Saat hendak sampai di puncak tiba-tiba hujan menggujur bumi, mereka semua terjebak hujan. Tapi mereka semua tetap saja melanjutkan perjalanan. Sudah saatnya untuk menancapkan bendera ini, dengan sekuat tenaga sebagai pemimpin Tunas menancapkan bendera itu di puncak bukit, seusai menancapkan bendera semuanya berdiri tegak membusungkan kelima jarinya di ujung alis. Seusai itu mereka hendak kembali, saat menuruni gunung tiba-tiba Tunas terpeleset jatuh.
***
Brukk
Dengan mata kepalanya, Ia menyaksikan hal itu secara nyata. Pohon kelapa yang sudah 15 tahun ditanamnya tumbang begitu saja. Entah mengapa pikirannya tiba-tiba tertuju kepada sang anak. Firasatnya buruk, tiba-tiba hatinya merasa tidak enak seperti ada yang mengganjal. Bersama dengan pohon kelapa yang umurnya sama dengan Tunas, keduanya sama-sama jatuh, rapuh, tak lagi bersinergi.
Isak tangis membentangi pipi Ibu Tunas, betapa hancurnya hatinya saat melihat anaknya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kabar baiknya Tunas tetap tersadar walaupun Ia harus menahan rasa sakit yang terlalu dalam, tulang ekornya patah, yang menyebabkan Ia tak bisa kembali duduk dan juga berdiri, hanya bisa terbaring, menjadi seperti kembang amben tak bisa berjuang kembali. Setelah beribu solusi telah dipikirkan oleh dokter hanya ada satu solusi yang dapat dilakukan agar tulang ekor Tunas kembali tersambung.
“Bapak Ibu mohon bersabar, memang tak ada solusi lain selain operasi, dan jika kalian memang memberanikan diri untuk operasi, salah satu resikonya ada pada saat pemulihan, pemulihan akan berlangsung selama satu sampai dua tahun, dan selama itu anak Bapak Ibu tidak dapat duduk dan berdiri, melainkan hanya terbaring di atas kasur.” ujar dokter turut berduka cita.
Tangis kembali mengalir, saat mereka mendengar hal itu. Apakah tak ada solusi lain? Jika memang tak ada hanya operasi adalah satu-satunya hal yang dapat dilakukan?
***
“Apa??? Tunas nggak bisa berjuang lagi?”
“Nggak, hal ini nggak boleh terjadi.”
“Ya Tuhan, betapa jahatnya dirimu. Kenapa kau ambil pemimpin kami, hanya dialah satu-satunya orang yang membuat kami bisa membuktikan janji kami kepada Ayah dan Bunda kami. Mengapa kau setega itu ya Tuhan?”
Di bawah derasnya hujan dan badai, di atas tanah yang melapang lebar hijau, mereka meratapi kesedihan yang menimpa Tunas. Tanpa berpikir panjang kali lebar, mereka semua melontarkan kata-kata seenaknya, bahkan mereka juga marah kepada Tuhan atas kejadian ini.
***
365 hari bukanlah waktu yang singkat, selama ini tidur Tunas bukanlah menjadi hal yang sia-sia, biarkan dia terbaring asalkan jangan lunturkan usaha untuk perjuangan. Selama ini Ia selalu membaca buku, kata sang Ayah Darso, buku adalah jembatan ilmu, bukan hanya membaca buku terkadang Ia juga membaca novel. Sesekali Ia juga berusaha bangkit dari tidurnya, tapi rasa sakit semakin melawan. Terkadang Ia juga hampir merasa tak lagi ada harapan untuk hidup, tetapi jika sudah berpikir seperti itu sontak Ia melawan untuk menghilangkan pikiran seperti itu, lalu Ia berpikir bahwa ini semua adalah ujian dari Tuhan yang pasti suatu saat nanti akan tergenang beribu-ribu kebahagiaan yang bisa dikenang.
“Tunas, Bapak bisa bicara sebentar.” ujar Darso
“Iya pak, boleh.”
“Gini Nak, apakah kamu masih merindukan masa-masa Pramuka?”
Tunas hanya terdiam tak berkata-kata satu patah kata pun, tak kuasa Ia membendungi air matanya, teringat akan masa-masa yang selalu penuh perjuangan, ingin Ia kembali kepada masa-masa itu, tapi sayangnya tak bisa lagi. Melihat anaknya yang tiba-tiba menangis, Darso pun terenyuh sedih. Langsung Ia peluk erat tubuh anaknya yang sedang terbaring, Ia merasakan kesedihan apa yang sedang dirasakan oleh sang anak.
“Gini Nak, bapak tahu perasaan kamu itu sehancur apa. Tapi, Bapak minta tolong dengerin Bapak sebentar saja.” ujar Darso menangis.
“Apa yang harus didengarkan Pak? Apa? Sekarang saja Tunas nggak lagi bisa berdiri. Buat apa hidup pak? Buat apa Pak? hiks hiks,” ujar Tunas menangis sambil memukul-mukul kasur dengan kedua genggam tangannya.
“Sudah Nak, sudah.” Ujar Darso menghentikan pukulan anaknya sembari mengusap air mata di pipinya.
“Apa yang perlu disudahi Pak, kalau perjalanan hidup Tunas memang tersudahi, meskipun Tunas masih bernyawa, perjuangan Tunas tak lagi bernyawa.”
“Kamu bisa berjuang nak, masih tetap bisa, tanpa harus menunjukkan energimu, kamu pasti bisa melakukan itu.”
“Dengan cara apa pak?”
“Asalkan kamu tahu, sekitar dua hari yang lalu pembina Pramukamu tak sengaja bertemu bapak di pinggir sawah. Katanya, para pasukanmu itu mulai hancur, bahkan saat ini mereka hampir bubar, itu karena tak ada kamu Nak.’’
“Benarkah pak? Berarti mereka semua hancur cuma gara-gara nggak ada Tunas ya Pak?”
“Iya Nak, benar sekali. Kamu harus berpikir bagaimana caranya supaya kamu tetap bisa menyemangati mereka walaupun kamu itu nggak berjuang bersama mereka, perjuangkan teman-temanmu, supaya teman-temanmu bisa bersatu untuk memperjuangkan bangsa Nak.”
“Baik Pak.”
***
“Pimpinan saya ambil alih, semuanya siap . . . grak!” Ujar Pembina Pramuka tegas.
Semua pasukan menuruti aba-aba yang telah diperintahkan oleh Pembina, semuanya berdiri tegak, meluruskan dan menggenggam kedua tangannya ke arah bawah, namun pandangannya tetap mengarah ke depan.
“Seperti yang telah kita ketahui sejak ketidakhadirannya Tunas, regu kita semakin tidak memiliki gairah, apakah kalian menyadari hal itu?” ujar Pembina mengevalusi.
“Iya kakak.” ujar seluruh pasukan tegas.
“Seharusnya kalian kalau memang menyadari hal itu silahkan kalian perbaiki diri, jangan tambah merusak keadaan.”
“Karena Tunas Kak. Dia telah mengembalikan jati diri kita semua, lalu mengapa Ia pergi begitu saja?” sanggah salah satu anggota.
“Hanya gara-gara nggak ada Tunas kalian seperti ini, kalian itu adalah Pramuka yang bermanfaat bagi masyarakat, dimintai tolong sama masyarakat untuk membangun jembatan saja kalian tak bergerak sedikitpun. . .” ujar Pembina dengan anda tinggi yang tiba-tiba terputus.
“Maaf Mas mengganggu, sebelumnya apakah saya boleh berbicara dengan kalian semua.” ujar Darso tiba-tiba datang dan langsung memotong pembicaraan pembina Pramuka.
“Iya Pak, silakan.” ujar Pembina Pramuka mempersilakan.
“Ini ada titipan dari Tunas, saya permisi dulu.” ujar Darso mengulurkan sebuah amplop putih dan tiba-tiba langsung pamit untuk pergi.
Semuanya langsung membubarkan barisan tanpa aba-aba, mereka langsung berkumpul menggerombol ke arah Pembina Pramuka untuk mengetahui isi amplop tersebut.
Surat ini kubuat dengan penuh rasa sakit.
Rindu? Jangan ditanyakan lagi, itulah pasti yang kurasakan. Sakit? Jangan ditanyakan lagi, tapi sakit sesungguhnya yang kurasakan adalah berpisah dari kalian. Buat pasukanku, jangan pantang menyerah, perjuangan kalian masih panjang. Jangan sia-siakan waktu kalian. Kalian semua harus yakin kalau kalian tetap bisa berjuang tanpa ada aku. Ku mohon jangan sia-siakan waktu kalian, aku yang saat ini berada di atas ranjang bukan malah senang karena bisa selalu merebahkan diri. Aku ingin berjuang sama seperti kalian, ingin kembali lagi. Menikmati hangatnya api unggun, memasrahkan kedinginan yang terus menembus ke dalam tenda, dan masih banyak lagi hal lainnya yang ingi kulewati bersama dengan kalian.
Jangan pernah lelah untuk berjuang.
Salam manis
Tunas Adipoetro Dirgantoro.
Semuanya menangis, seketika mereka langsung menyesali dengan apa yang telah mereka perbuat selama ini, mereka terlalu egois, hanya bergantung pada Tunas, tak berpikir jika keadaan Tunas sedang dalam keadaan yang tidak baik.
***
Robohnya pohon kelapa ini ada manfaat, sama seperti Tunas meskipun Ia terbaring lemah, tapi Ia tetap berarti bagi teman-teman dan juga keluarganya. Pagi ini seluruh pasukan dan pembina Pramuka Tunas datang ke rumah untuk meminta maaf kepada Tunas. Isak tangis penyesalan membentang di pipi masing-masing. Di hari itu juga mereka memanfaatkan pohon kelapa yang tumbang di sekitar rumah Tunas, batangnya digunakan untuk jembatan, sabutnya dijual dan lain sebagainya. Tunas Kelapa bukan hanya menjadi lambang mereka, tapi juga menjadi lambang jati diri mereka. Bukan hanya pasukan Pramuka, Darso pun turut ikut dalam kegiatan ini, sembari bercerita tentang pohon kelapa yang umurnya sama dengan Tunas, jatuh roboh bersama dengan saat Tunas terpeleset. Tapi Darso yakin, meskipun roboh pohon masih bisa dimanfaatkan untuk hal yang berguna. Ia meyakini hal itu bukan hanya pohonnya saja, tapi juga pada anaknya, Tunas Adipoetro Dirgantoro, tak sia-sia Ia memberikan nama itu, walaupun saat ini tubuh Tunas masih terbaring lemah, tapi jiwa dan raganya tak akan pernah terbaring selama hidupnya belum berakhir.
Jember, Agustus 2021
Nandhita Yusvira Prastika adalah Siswa SMA Nuris Jember yang telah menuliskan Dua Buku Sastra, yaitu Novel berjudul Ibu, Izinkan Aku Salat di Gerejamu dan Kumpulan Cerpen Seusai Pamit Sebelum Singgah. Ia juga pernah meraih Juara 2 dalam Ajang Penulisan Puisi tingkat Jawa Timur.
Sumber gambar : https://www.freepik.com/free-vector/camping-place-cartoon-composition-with-yellow-tent-lamp-pot-with-dinner-fire-night-sky_13749110.htm#query=pramuka&position=38&from_view=keyword