Cerpen Mengubur Darsini Karya Tasya Dea Amalia

 

Karya : Tasya Dea Amalia

 

Ia mematung menghadap ke barat. Tangannya memegang kaki boneka tanpa  kepala. Busa-busa yang menyembul, terkadang jatuh menyentuh tanah. Hanya  terlihat punggung saja. Mungkin juga beberapa helai rambut yang bersisa. Jika tak  sengaja bertemu, lebih baik berputar baliklah. Bahaya. Matanya tajam menusuk.  Padahal ia tak benar-benar menggunakan matanya.

 

*** 

 

Kaki-kaki yang berlari meriuhkan tanah hingga mengotori udara. Terkadang  beberapa sandal ikut terputus sebab terinjak tanpa sengaja. Barangkali memang  ada yang sedang berlari lebih cepat, kaki-kaki itu seolah tersaingi dan terus berlari  dengan cepat meskipun tak bersandal. Hiruk pikuk bergerumbul dengan mulut mulut yang ikut berbicara dan terengah. Setidaknya pilihlah salah satu antara  bicara atau terengah, dasar manusia. Berduyun-duyun penduduk desa  mendatangi sebuah rumah setengah jadi di tengah kampung yang catnya  berwarna merah. Semua memenuhi pelataran, samping kanan. Kiri bahkan  halaman belakang rumah itu. Telinga mereka menangkap kabar buruk milik salah  satu penghuninya. Warga yang penasaran tak segan meninggalkan rumah mereka untuk melihatnya secara langsung.

 

“Bukan saya yang membunuh mereka.” Ucap pemuda yang tengah diamankan warga. 

Ia sedikit jangkung dengan rambut sebahu hitam legam. Semua orang di kampung  itu mengenalnya. Panggilannya Wisnu, ia salah satu pendatang tiga hari lalu. 

“ Sudah kamu diam saja. Kita tunggu hingga polisi datang.”

“ Apa yang saya katakan benar. Sungguh bukan saya yang membunuh mereka.”  Wisnu terus berusaha mengatakan pembelaannya. Namun tak ada satupun warga  yang mendengar. Mereka sangat terkejut dengan lantai rumah yang dipenuhi  dengan darah.

“Sudah kuduga Darsini sepertinya memang menjual diri.” Ucap salah satu warga. “ Sepertinya begitu, lihatlah pendatang itu tertangkap dengan bertelanjang dada.”  Jawab warga yang lain.

“ Kalian melihat kedua anak Darsini tidak?” tanya wanita buta ditengah-tengah  kerumunan warga kemudian.

“ Aku tidak berani melihat ke dalam. Katanya keadaan Darsini sangat kacau. Tubuh tanpa busananya bahkan berselimut darah” jawab laki-laki di depan pintu. “ Adakah yang melihat kamar yang lain?” tanya seorang laki-laki memakai peci.  Sepertinya ia baru saja dari masjid. Wisnu pada akhirnya menangis dengan terus  mengatakan pembelaannya. Warga yang berkerumun menatap jijik ke arahnya.  Bahkan terkadang menyumpahinya hal-hal kotor.

 

Darsini seorang janda yang hidup bertiga dengan kedua anaknya. Suaminya  meninggal dikarenakan tertabrak kereta api satu tahun lalu. Saat itu suami dan  anak sulungnya hendak pergi ke pasar untuk menjual dagangannya. Siapa sangka  di tengah perjalanan dagangan mereka jatuh di pinggiran kereta api. Tak jauh ada  kereta api yang sedang melaju dengan cepat. Suami Darsini yang menyadari hal  itu saat tengah memungut dagangannya mendorong anaknya ketepian dan  akhirnya kehilangan nyawa. Anak sulungnya memang beruntung, namun dia harus  kehilangan satu kakinya.

 

Sejak itu Darsini menjadi sangat miskin dan dililit banyak  hutang. Pengobatan anaknya membutuhkan banyak uang. Dan pagi ini, saat  matahari belumlah terlihat dengan benar. Seorang warga yang hendak pergi ke  ladang mendengar teriakan dari dalam rumah Darsini. Teriakan itu adalah suara 

seorang pria. Benar, teriakan itu adalah milik Wisnu. 

 

“ Pak benar bukan saya yang melakukan itu.” Ucap Wisnu pasrah pada kepala desa  yang baru saja datang. Suaranya bahkan tertarik lebih kecil.

“ Sudahlah anak muda. Tidak ada orang lain selain kamu yang kami temukan disini.  Tak usah berbohong lagi.”

“ Saya tidak melakukan apapun. Hiks… saya hanya…”

 

Suara Wisnu terhenti. Hal itu  sontak membuat semua orang yang terkejut semakin menggelengkan kepala. “ Nak, kau itu masih muda. Masa depanmu masih panjang, janganlah kau buat  main-main usiamu itu. Ingatlah akan dosa.” Ucap kakek-kakek bertongkat yang  berdiri dibalik jendela. Warga yang mendengar hal itu mengiyakan perkataan sang  kakek. Kira-kira satu bulan lalu, mulailah terdengar kabar burung yang melintasi telinga  warga. Hal itu berawal dari Darsini yang menjadi kaya raya secara tiba-tiba. Desas desus yang berjalan mengatakan bahwa Darsini melakukan pesugihan, ada pula  yang mengira dia menjual diri. Hal itu bukanlah tanpa alasan. Tetangga rumah  Darsini kerap kali mendengar suara desahan dari jendela kamar Darsini. Hingga  pada akhirnya rumahnya dibangun setengah jadi pun warga terkadang masihlah  mendengar suara itu.

 

Beberapa warga pun mulai curiga dengan kedatangan Wisnu  tiga hari lalu yang selalu bolak-balik rumah Darsini. Sebagian warga yang melihat  mengatakan, mereka melihatnya datang dimalam hari, namun tak pernah melihatnya pergi dimalam itu, mereka justru akan melihatnya kembali datang di  malam hari, seperti dengan sengaja ia pergi di waktu dini hari saat tak ada warga  yang melihat. Warga pun percaya, Wisnu adalah salah satu pelanggan Darsini.

 

“Pak, pak kami tidak melihat kedua anak Darsini, kemana mereka pergi?” ucap  bapak setengah baya dari dalam ruang tengah rumah Darsini

“ Sudah kau lihat benar-benar kah?” Ucap kepala desa.

“ Sudah Pak. Saya sudah telusuri semua isi rumah tapi tidak melihat mereka.”

“ Wah, tidak mungkin mereka pergi secara tiba-tiba. Apalagi dengan keadaan anak  sulung Darsini yang lumpuh seperti itu.” Semua mata akhirnya tertuju pada Wisnu.  Warga mencurigainya mencelekai mereka juga.

“ Benar bukan saya pak.” Matanya memerah. Bahkan kata-katanya sudah tidak terdengar jelas karena sesenggukan. 

Warga yang geram juga mulai terdiam. Ibu-ibu yang membawa anaknya turut  serta pergi satu persatu membawa mereka pulang karena anaknya tak henti hentinya menangis. Semua orang terkejut. Dan bahkan mungkin akan meninggalkan trauma bagi beberapa orang. Hingga tak lama polisi datang dan  mengamankan sekitar rumah Darsini. Mereka meminta warga untuk kembali ke  rumah masing-masing dikarenakan hari sudah terang. Wisnu yang tertuduk lemas  disamping kepala desa diangkut oleh mereka. Ia berjalan gontai didampingi kepala  desa menuju mobil polisi.

 

*** 

 

Hening. 

Sejak hari itu warga tidak berani keluar rumah di malam hari. Ada orang yang  berkata mereka pernah melihat sosok wanita berkeliaran disekitar rumah Darsini.  Warga percaya bahwa sosok wanita itu merupakan hantu Darsini yang  gentayangan. Satu hari berselang setelah peristiwa itu, media ikut menjadi heboh.  Mereka memberitakan tentang kematian Darsini, namun hingga saat ini kronologi  tentang kematian Darsini belumlah terpecahkan. Warga pun tak lagi mendengar  bagaimana kabar Wisnu dipenjara. Belum lagi kedua anak Darsini yang tiba-tiba  menghilang tak pernah lagi ditemukan. Banyak yang mengatakan bahwa Wisnu  membunuh mereka terlebih dahulu dan mengubur mereka disuatu tempat. Ada  pula yang mengatakan bahwa mereka memang sengaja pergi karena tidak tahan  dan malu akan perlakuan ibunya. Desas-desus semakin menghantui warga  kampung itu.

Mereka hidup dengan rasa cemas. Kasihan. Darsini, janda beranak  dua itu berhasil menimbulkan trauma yang mencekam bagi semua orang. Aku  beruntung, setidaknya aku dapat menyaksikan detik-detik akhir hidupnya. Bahkan  turut kubawa pisau dapurnya sebagai oleh-oleh.

Jika tak sengaja bertemu, lebih baik berputar baliklah. Bahaya. Matanya tajam  menusuk. Padahal ia tak benar-benar menggunakan matanya.

Malang, 11 Agustus 2022
Kampung pembunuh
10.34

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember tahun lulus 2019, kini melanjutkan studi sarjana di Universitas Negeri Malang. Sewaktu SMA, ia pernah meraih Juara 4 Lomba Menulis Novela tingkat Nasional.

 

Sumber sampul:
https://www.inews.id/news/nasional/sedia-payung-hujan-lebat-diperkirakan-landa-berbagai-daerah-di-indonesia

https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2022/02/20/ilustrasi_hujan.jpg

 

 

 

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil