DILARANG MEMBAWA MAKANAN!
Dilarang membawa makanan ke area ini. Kami tidak juga membutuhkannya. Benda itu hanya untuk orang-orang kuno seperti kalian.
Di bawah lekung pohon kersen, teduh kolong jembatan. Kadang-kadang berlari mengikuti jalur kereta, sepanjang hari berkelana. Selain beranjak dari tempurung kasur dalam waktu lama, mereka punya kebiasaan memandangi langit-langit sehabis malaikat mikail mencambuk awan. Mencari bujur warna merdu bersenandung senyum. Pemandangan sementara namun sanggup membuat para insan mengucap hamdallah sembari menyapu sedu. Alih-alih merangkul dia yang tak kenal kekal, mereka terlintas cahaya bening; membuat replika. Meski tak persis karya tuhan, namun rasa tetap sama. Tiruan yang dibangun diatas kertas putih itu mampu menjadi obat. Kian lama makin memberontak, makin menjadi candu. Replika itu tak lagi hanyalah sebatas coretan yang tak simetris dan lurus. Ia makin mengalir menjadi rupa yang lain. Dan mereka mulai sanggup menghirup udara hidup.
“Sebentar lagi mereka datang.” Ucap seorang pria berkepala tujuh. Punggungnya yang bungkuk, dengan syahdu ia duduk bersila digeromboli anak-anak kecil. Kira-kira 8 tahun.
“Siapa yang datang?” salah satu anak kecil yang tengah melengkungkan daun-daun kering itu menoleh. Wajahnya terheran lugu.
Belum sempat kakek menggerakkan bibir keringnya, langkah-langkah kaki yang tak tahu mengantri membuat mata para anak kecil itu melebar dengan sendirinya. Mereka memang makhluk yang sama, tapi sungguh asing. Entah mereka datang dengan apa tapi mereka kemari sembari membawa kardus-kardus yang banyak dan berat. Tak lupa, goresan semyum yang menggiring sejuk.
Semakin banyak yang terheran. Induk-induk, para tetangga dan kerabat setempat merapat. Memandang dengan kening mengerut orang-orang asing itu. Orang-orang asing itu memang tak membawa senjata tajam, api atau pun bom. Tapi tetap saja, waspada selalu ada. Kecurigaan tak pernah luput.
Salah satu sosok yang tak pernah singgah dalam hidup mereka itu melangkah beberapa kaki, meminpin teman-temannya dibalik pundaknya.
“Selamat siang. Mohon maaf bila kami mengganggu kalian. Kami kemari sekedar ingin berbagi rezeki untuk kalian semua.” Tak luput dari lesung pipit yang tenggelam.
Tak ada lengkung tubir yang membalas. Mereka memandang satu sama lain. Sepercik bisik hadir. Orang-orang asing itu masih terdiam menunggu layangan jawab. Makin lama, mereka yang asing ikut merengutkan kening. Mereka semua sama; makhluk tuhan yang kebingungan disatu udara dan gulungan jam yang sama.
Pria berbaju cokelat kusam, ada banyak percak robekan diujung-ujungnya turut memajukan sekujur raganya. Melirik ke dalam kardus.
“Maaf” katanya. Tangannya mendorong kardus itu pelan dengan sopan.
Orang-orang asing berbaju rapi itu menyorot dalam-dalam mata pria itu. Bukankah harusnya kata terimakasih? Lantas mengapa sebaliknya? Atau mereka tak suka pemberian dalam kardus itu? Apa ada sesuatu yang salah?
Bising-bising hanya gegana. Mereka terdiam. Kini manusia-manusia asing itu berdiskusi dengan bisu. Mata jadi perantara.
“kami tak butuh makanan” seolah menggeluti ilmu telepati, ia menjawab.
Mereka menundukkan kepala. Merangkul rasa malu. Persis saat berdiri menjabarkan materi yang belum dikuasai saat presentasi. Seperti memanggil orang yang salah di tengah kerumunan mall. Dalam suasana kalbu itulah mereka.
“Kami tak butuh dan tak akan pernah butuh makanan.”
***
“Jadi, kalian benar-benar tak butuh makanan?” pertanyaan yang dipertanyakan sekedar menggali kepastian.
Sembari menghirup senja, makhluk-makhluk asing itu meleburkan julukan ‘asing’ mereka. Semuanya tanpa secuil tanpa terkecuali saling berjabat tangan melayangkan kisah masing-masing. Mereka semua menjahit untaian persaudaraan. Merangkul rusuk yang beragam. Berlari berlalu lalang menyusuri tebing padang yang tak tersentuh layar kaca. Menghitung anak beranak pohon yang terbatas. Memeluk mamalia yang merintih karena kerabatnya yang mulai terkikis. Dan ketika matahari mendengkur sepenuhnya, mereka berleyeh-leyeh dipinggir api unggun. Ada salah satu perut yang mengolong-olong. Semua menyorot insan yang lekat dengan nada dering alami itu.
Kakek dengan umur 71 tahun kurang 36 hari itu bangkit dari duduknya. Ia permisi pergi ke arah kebelakang, entah kemana. Tak sanggup hingga 5 menit, ia kembali dengan sepiring kertas putih. Padahal lelaki dengan perut yang keroncongan itu sudah penuh dengan rasa percaya diri bahwa ia akan disuguhi setidaknya sepiring nasi. Tapi ia lupa kalau penduduk disana sangat anti dengan makanan.
“Maaf. Saya tidak bisa makan kertas” lelaki itu mencoba menjelaskan dengan nada lirih berusaha tidak menyenggol semili pun perasaannya.
Sang kakek tidak menjawab. Bibirnya melengkung. Dari belakang ada seorang wanita kira kira 20 tahun, membawa beberapa mangkok berisikan ragam warna berupa cairan yang berdiri diatas loyang. Wanita itu juga tersenyum.
Lelaki yang setengah tenggelam ditengah rasa laparnya menatap dalam mangkung-mangkuk kecil penuh warna itu. Ia ambil salah satu dari banyaknya. Warna abu-abu gelap. Hampir pesis dengan helai-helai rambut sang kakek.
“Sini. Biar saya tunjukkan”
Sang kakek mengambil alih piring kertas, juga mangkuk-mangkuk kecil itu. Semua merapat. Tak ingin melewatkan pandang dari kakek.
Mula-mula ia membangkitkan jari kelingking. Mencelupkannya kedalam salah satu warna dan membuat sebuah titik diatas kertas; awal dari permulaan. Matanya terpejam. Penuh khusyuk dan tentram. Kelingkingnya mulai menggelinding. Kekiri dan kekanan. Membuat pertigaan dan perempatan. Saat warnanya sudah mulai memudar, ia mngangkat sekujur batangnya dan bergilir kewarna yang lain. Mungkin ia akan memilih warna lebih redup agar nampak bayang-bayang yang lebih hidup.
“Seperti ini.” Bentang putihnya kertas itu telah ternodai. Muncul segelas kopi dengan uap yang menandakan baru saja diseduh.
Satu persatu telapak tangan saling menhantam. Mereka yang asing yang kini tak lagi asing seolah baru saja bertemu dengan penyihir dengan mantra yang terbalut dalam dagingnya.
Tak kuasa lagi menahan perutnya yang bawel, lelaki itu meniru sang kakek.
***
“Ah sudahlah. Aku menyerah. Bagaimana cara melakukannya? Jangan-jangan kalian ini benar memiliki ilmu sihir?”
Sudah ada kira-kira 10 lembaran yang tak lagi lurus dan halus. Sudah berapa kali ia mencoba, tapi tak bisa menyamai kakek. Ia terlahap emosinya dan gagal menenangkan perutnya yang bergejolak. Anak-anak kecil tertawa melihatnya merengek. Sang kakek tersenyum diam. Bola matanya hampir sepenuhnya tersembunyi.
“Apa kau tak bisa mengajari kami? Barangkali melihat itu masih belum cukup” salah satu teman dari pemilik perut gemetar itu memohon dengan intonasi yang serupa padi matang.
Kakek tak membisu. Ia memang menjawab; menaruh telapak tangannya tepat dihadapan jantungnya. Lelaki itu memandangi kakek. Seolah ada yang menghipnotis, ia meniru gerakan kakek meski pikirannya penuh tanya.
“kata kakek, caranya itu ya pakai hati. Harus khusyuk” seorang anak kecil menyahut dengan melengking.
Lantas ia mulai mencoba. Ia memutar ulang kejadian tadi saat kakek melukis segelas kopi hitam panas. Dia pikir akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi nyatanya, mengosongkan pikiran dan fokus pada satu tujuan itu hampir setara dengan mendaki tanpa kaki.
Namun siapapun makhluk dan secacat apapun, sekiranya menancapkan iman dengan teguh pasti akan jadi. Kini dirinya sudah habis semangkuk penuh bakso, lengkap dengan segelas es teh manis yang mengusir rasa pedas. Seolah dirinya sudah paling ahli.
Sebelum kembali ke arah istana masing-masing, mereka ingin meminta maaf; sudah bersangka bahwa mereka adalah orang-orang yang kekurangan.
“kalian tak salah. kami memang kekurangan”
***
Banyak orang menyukai pelangi.Tak sedikit pula yang membenci. Seringkali pula dimirip-miripkan dengan kekasihnya yang pergi. Tapi pelangi adalah sumber. Sumber dari warna yang benar-benar murni. Ia mengalir langsung dari langit. Dari tangan tuhan. Tak warna yang lebih suci dari pelangi. Setiap hari akan selalu ada warna yang disayatkan. Kian lama akan surut pula. Tapi sudah lama warna-warna suci itu tak kunjung datang. Dan kami tak bisa pulang, ke peradaban kami yang asli.
Dimanakah hujan? Sepertinya awan tak cukup sedih untuk merintih. Tak ada petir yang mencambuk. Padahal kau berada dipaling atas, harusnya kau jelas melihat muka bumi saat ini. Tidakkah kau merasa miris?
Jika langit mengerti aku, menangislah, saat ini juga. Aku butuh warna-warna itu. Untuk melukiskan tanah kelahiranku. Sebuah negeri yang lebih tentram daripada yang kuinjak saat ini.
Bagaimana caranya membuat awan menangis?
***
Sudah-sudah. Daripada kau terus terjebak dalam fatamorgana yang menggumpal, kini biar aku yang berkisah.
Dengarkan ya. Boleh kok kalau mau sambil meneguk secangkir the panas. Tapi jangan ditaburi terlalu banyak gula. Nanti segala aroma manis hanya tergeletak pada cangkir itu saja. Jangan terpaku dengan rasa manis yang berasal dari gula saja. Misalnya, melihat anak kecil yang tertawa dengan lelucon ciluk-ba.
Aku, kami, semuanya yang sedang berkumpul merangkul api unggun ini (kecuali orang-orang yang baru datang tadi siang), sebenarnya tak ingin tinggal lama disini. Dulu, kami kemari, hanya kadang-kadang, dapat dihitung jari 3 genggaman. Biasanya memang aku, orang yang paling sering kemari. Kalau sedang lelah ya dia, yang memakai topi jerami, dia adikku. Dia yang menggantikanku kemari. Untuk menopang jatuhnya warna-warna suci itu.
Aku rindu kampung halamanku. Seringkali gambaran pijakan tanahnya pupus dalam ingatanku. Jadi kalau termometer kerinduan kami sudah memuncak kami berkumpul melingkari api unggun, seperti saat ini. Dan saat ini pula kami sedang merindukannya; langit yang tak pernah redup, aliran sungai senantiasa syahdu, rembulan yang tak mengumbar kantuk, para anjing enggan mengolong-olong dan tikus-tikus yang hanya melahap keju. Apalagi kau mentari dan bulan berpapasan, mereka memuntahkan warna merah jambu bertumpuk ungu. Warna yang paling aku suka. Disana kami bisa melakukan apa saja, tanpa ada yang mencela, menghakimi apalagi menggunjing. Cukup dengan selembar kertas, sebatang kuas, dan tumpahan air mata pelangi, semuanya akan menjadi.
Sebenarnya aku ingin bercerita lebih banyak lagi. Karena terlalu banyak gelak tawa yang mengalir disana. Tapi sayang sekali, sangat teramat disayangkan. Gulungat riwayat itu kini sudah menguap ke antah berantah. Akan lebih baik lagi kalau kamu saja yang berkunjung kerumah kami. Tenang saja, akan aku suguhkan apa saja, semuanya yang kau idamkan. akan ku perlakukan sosokmu persis seorang raja.
Tapi nanti,
tunggu awan menangis.
Aku juga terus menanti.
Ingat terus langkahnya. Cukup dengan selembar kertas, setangkai kuas lembut, dan air mata pelangi. Serupa pula saat kau menghadap pencipta, harus fokus.
22 Oktober 2021
Selamat Hari Santri
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/751890100275343565/