SPASI
“ Sembilan penulis menjadi gila seusai tunaikan ibadah puisi tanpa spasi!”
Begitu topik hangat yang terdampar di wajah koran yang mulai muram. Aku menangkis beberapa anak rambut nakal yang tadi menjelma tirai di beberapa sudut pandang. Masih terlihat seorang perempuan yang tubuhnya lentur memeluk lutut, seakan lututnya adalah kekasih yang paling sempurna. Setelah beberapa waktu aku mengomando napas agar mereka jalan teratur, pita suaraku mulai sedikit tertekan, bersiap mencetuskan beberapa ritme.
“Kembalilah.”
Perempuan itu diam sejenak. Menatapku, lalu sedikit menggeleng.
“Tidak bisa, rindu masih memperbudakku”
Lalu ia menjatuhkan kepala, merasa bersalah karena tidak leluasa menabung rindu, atau mungkin ia menahan takut jika saja aku yang gagal menyekap amarah. Nafasku terbuang sedikit memaksa. Menjatuhkan gas karbon dioksida lebih banyak, tak peduli lagi jika peraturan yang terdampar adalah dengan menghemat gas oksigen yang sudah dijual di pasar-pasar. Rasanya ada api yang sedang bermain di kepalaku.
“ Kau akan menciptakan orang gila lebih banyak lagi!”
Tanganku secepat kilat menyahut segelas kesabaran, meminumnya, lalu melemparnya hingga beberapa saat ia bercumbu pada dinding dan akhirnya pecah, terbagi menjadi beberapa keping kisah yang menyorotkan luka.
Perempuan itu menambah volume tunduknya. Mungkin ia sedikit kaget dengan tawa beling dari gelas kesabaran tadi. Seperti tak menyangka bahwa kesabaran juga bisa berkata. Dengan terpaksa, seperti mengalir, suara perempuan itu mengisi absen di telinga.
“Aku sangat merindukanmu. Tidak bolehkah aku membuang waktu pada kekasihku untuk sementara waktu?”
Rasanya, amarahku semakin gemar bermain dengan api. Berani sekali ia mengatas namakan rindu sebagai dalang dari semua ulahnya. Tidak biasa ia menghakimi tindakan seperti ini. Biasanya, ia hanya akan mengirim surat dari kota kata – kota tempatnya menjajahkan umur, berisi rangkuman rindu yang terkadang ditemani hujan dari bulan Januari dengan cerita pendeknya. Cerita yang bertokoh sempurna dalam alur romansa tentang pelukan hangat sepasang kekasih sepanjang penyambutan tahun yang masih menangis di agenda kelahiran.
Pernah juga dia mengirimku puisi tentang kekesalannya yang selalu salah digunakan oleh anak SD berkepang dua. Di bawah taungan nama pengirim salam sayang dan rindu, ia mengirimnya lewat sinyal wifi lalu menembus masuk ke dalam dokumen. Lalu akan kubalas dengan bait-bait kesejukan yang kucuri dari setiap rerebah bulan, ditulis di atas kertas dengan aksara cinta, selanjutnya kukirim lewat kantor pos dengan alamat kosong. Bagi mereka tanpa alamat – entah dikirim ke mana setelahnya. Tapi bagiku, itu adalah alamat kekasihku, identitas cintaku.
Ia tak pernah memaksa pergi dari kampung halamannya. Tetap tinggal di singgasana tulisan dalam bentuk kehampaan. Hingga rindu yang mana yang sukses mengantarkannya menuju jalan keluar dari tempat singgah, menuju aku yang selalu iba setiap memangsa semangkuk sajak. Iba pada kedudukan kekasihku di pandangan para penulis dan pembaca. Namun jalannya tetap salah. Tak seharusnya ia mengangkat kaki dari ranah tulisan, menaruh surat kecemasan pada abjad dan semua identitas di kampung kepenulisan.
Ia pernah menerbangkan cerita dalam surat surat rindunya. Cerita tentang kegudahan iri pada makhluk yang lain.
“Aku selalu di nomor urut terakhir dalam hal banyak dapatnya perhatian. Hah, memang sulit menjadi sosok yang selalu diperhatikan. Tidak seperti para abjad yang selalu diperhatikan keindahan susunannya oleh para penulis dan pembaca. Juga tanda baca yang setiap bentuk memberi rasa dan suasana yang berbeda. Atau angka-angka yang selalu dapat basuhan di setiap pelajaran matematika. Aku apa? Setiapnya hanya berisi kekosongan yang nihil dianggap berjasa dalam sajak-sajak yang belum juga dewasa. Aku rindu kau yang menjalinku manja. Kapan kita bertemu? Seperti para tokoh yang akan berhujung senyum di cerita cerita novel best seller, setelah lama merendam rindu. Kapan rinduku bisa kubasuhkan langsung pada tubuhmu? Tidak melulu dengan menyusup ilegal di wifi untuk sampai di format dokumen. Balasanmu kutunggu untuk sampai di mimpi mimpiku. Salam sayang, dari secangkir rindu yang tak mampu tumpah.” Begitulah kira-kira isi suratnya yang membawa kegaduhan beberapa hari lalu.
Hatiku tak bisa dibohongi. Aku menaruh iba padanya. Namun, kenyataannya tetap, ia harus menjalin cerita lagi di kampung kata. Jika tidak, tulisan bisa saja musnah akibat kata kata yang saling bertabrakan.
“Tulisan membutuhkanmu, kembalilah!”
“Tidak, mereka tidak pernah menganggap kehadiranku.”
Lalu air mata tentang sakitnya bersahutan. Ia telah merampungkan kisahnya, menampungkan air matanya dalam bait-bait cerita di semangkuk malam. Aku menunaikan ritual harian, mencuri anakan malam. Namun kali ini bukan kutaruh dalam plastik sajak karena malam kali ini tidak untuk dikirim. Tapi kusajikan dalam sepiring lalapan, menjadi penambah rasa tersendiri. Kuserahkan sepiring lalapan cerita padanya. Tersusun dari nasi, kisah, kasih, juga daun tangis dengan dibumbui bumbu kacang dengan bauran atmosfer malam yang barusan kucuri. Ia memakannya, lahap sekali. Mungkin sudah banyak tenaga yang pergi karena menduduki koma untuk bendungan rindu dan jubah kekecewaan yang membesar.
Aku tak lagi punya kuasa untuk membentaknya, menyuruhnya kembali ke negri yang seharusnya ia tempati. Aku juga selalu setia menabung rindu jika saja nanti ada keajaiban untuk aku bertemu dengannya. Namun, situasi kali ini berbeda. Kedatangan sosoknya tak lagi dapat jatah cumbu dari rinduku. Hanya mendapat sebongkah kehawatiran jika saja nanti di dunia ini para penulis menjadi gila karena kehilangan spasinya.
Seperti kain sutra yang baru saja melilit pita suaraku, hingga terciptalah nada yang tak lagi memegang irama tinggi.
“ Aku mengerti, aku juga rindu. Tapi tetap saja kau harus kembali.”
Kosong, sama seperti identitasnya. Air matanya juga sudah mempredikati kata hampa. Tak ada suara yang ia lucurkan untuk bersatu dengan suaraku tadi. Hanya ada tatapan yang mulai mengubah kartu tanda perindu, menjadi sorotan yang tajam, atas nama perasaan yang bocor.
Langkahku diseret angin mendekatinya. Hingga mimpi yang kusimpan menjadi cerita dalam dunia nyata. Aku memeluknya, merasakan betapa tidak adil para perhatian yang sukses memukul rasa semangat, diganti dengan kedudukan kecewa. Aku ingin sekali mempersilahkan ia tinggal bersama dalam atap atap cerita dari novel yang pernah ia mainkan. Tapi, tentunya tidak bisa. Dunia tulisan akan mati, lalu para penulispun juga kehilangan jati diri dan akal karena serpihan jiwanya telah pergi akibat kerusuhan para abjad dan segala tanda baca. Aku tetap menyuruhnya kembali ke dalam aksara lembar yang bertinta sekarat.
“Kembalilah”
Lalu, ia melepas pelukanku, meninggalkan kehangatan dan rasa rindu yang baru saja kulampirkan. Ia berdiri, menatapku tajam.
“TIDAK! Aku tidak akan kembali pada dunia yang tak pernah menganggapku berharga. Bahkan jika kau memaksa, aku tak sudi. Aku pergi!”
Laluiabenarbenarpergidarisetiapceritayangakusajikan.Duniamulaiberjalantanpagenggamankekasihku.Kekasihkupergidenganjabatannyasebagaispasi!
Jember, 20 Oktober 2021
Sumber Gambar : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fserikatnews.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2Fpuisi.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fserikatnews.com%2Fpuis-puisi-bj-akid%2F&tbnid=6V78TufwkBFj8M&vet=12ahUKEwiHlqOA2fv3AhX-oNgFHXWRBAEQMygGegUIARDIAQ..i&docid=UWqgMHABzcpNkM&w=800&h=550&q=ilustrasi%20puisi&ved=2ahUKEwiHlqOA2fv3AhX-oNgFHXWRBAEQMygGegUIARDIAQ