Perihal Padang Bulan - Cerpen Kayla Athaya Tifani

PERIHAL PADANG BULAN

            Alkisah,

Di pesisir kertas lusuh yang terbegkalai oleh bianglala dunia. Para punokawan memesan secangkir keresahan dan menyeduhnya bersama perdebatan tanpa pemanis serta bisnis dari pengarang kitab mahabarata. Bhagawan Wyasa, romo agung yang ditatap miris oleh para punokawan sedangkan di dasar lingkaran sajak. Mereka berdiskusi tentang hari tua yang telah dijalani. Dengan umur romo yang terlampau jauh dari para punokawan, semar mengamati bagaimana rambut panjangnya menebar kesucian, jenggot yang tumbuh dengan lebatnya, senyum yang terpatah-patah dan minus yang menjelma tetanus. Mereka sudah lelah, ingin segera mengakhiri manuskrip yang menyetrip utusan untuk menumpahkan humor dan merintikkan kebahagiaan. Serta menjadi pembantu dalam sajak yang menapakkan jejak kegelisahan pandawa. Untuk itu, mereka akan menitipkan secarik kesimpulan bahwa jabatan di bawah sampul coklat akan diberikan kepada punokawan era milenial yang serba ketik, estetik, dan problematik.

Sebagai wadah aspirasi dakwah reinkarnasi Sunan Kalijaga yang telah menjubahi dirinya dengan wayang sebagai media dakwah yang harus dilestarikan. Kini, teknik diskusi ataupun musyawarah merupakan souvenir yang cantik untuk membumikan dakwah islam. Dan detik ini pula, mereka menyudahi diskusi singkat pada musim kesedihan, menggulung tikar dan melaksanakan ritual hibernasi untuk persetubuhan tubuh yang abadi.

“ Pengajian akan kembali dilaksanakan minggu depan, diakhir purnama menyingsingkan kerah cahayanya, bertempat di Bar Padang Bulan cabang Jember. Dan mengisi waktu dikala senja. Untuk serikat punokawan ulama diharapkan membalas pesan di grup ini.”

Ting!

Notif bertebaran di grup masing-masing, melupakan apa yang telah tersematkan. Segera para anggota membalas.

“Siap 100 persen” balas Cak Nun

“Bisa diatasi” lanjut Gus Dur

“Kulo siap dulur” Spontan Sujiwo tejo

“Dengan niat yang baik akan melahirkan hasil yang baik pula, selagi saya mampu, saya pasti datang” akhir Gus Mus

Tidak terhitung satu menit mereka membalas pesan dari pusat, membuktikan kekompakkan yang telah tertuang di botol persaudaraan. Kesetian untuk menebarkan remah-remah dakwah sudah mereka kisahkan dalam niat yang tak terucap. Menciptakan elegi seni bercampur humor dakwah.

Menunggu, bukan menciptakan musim yang membosankan, tetapi menunggu merupakan kesempatan untuk menciptakan alur yang akan kau pijak dikemudian hari. Gus Mus, Gus Dur, Cak Nun, dan Sujiwo tejo para rekan pendakwah yang menciptakan kahuripan baru di tengah ombak yang membentur karang kebodohan. Dengan pendengar dari umat lansia, mereka menjawab serta berdiskusi bersama serta menumbuhkan kehangatan yang merangkul hati serta reranting pemikiran.

Dan waktu kini telah bernada, mengarungkan keempat tokoh punokawan ulama ke tempat yang telah ditentukan.

“He dulur.” Sapa Sujiwo Tejo yang sedang duduk santai di depan Bar Padang Bulan, dengan melilitkan selembar sorban merah pada kepala sembari menghisap aroma nafas dari kepulan asap rokok.

Spontan ketiga rekannya itu melambaikan tangan, menghampiri Sujiwo Tejo yang dijuluki bapak dalang punokawan. Mempersatukan telapak tangan sebagai pembukaan dalam kisah kekerabatan yang merapat.

“Lek lek teko-teko kok wes ngrokok” ucap Cak Nun

“Ngerokok iku biso ngelancarne pikiran gae jawab pertanyaan e mbah-mbah” jawab Sujiwo Tejo

“Ngeles tok dulur ku iki, yowes ayo ndang mlebu. Engko masuk angin.” Ajak Cak Nun

“Kan ada tolak angin.” Spontan Gus Dur

“Wes ewes ewes bablas wektune, ayo cepet masuk wes kepotong akeh iki.” Sanggah Gus Mus.

Mereka pun membuka pintu Bar Padang Bulan, serupa film Warkop DKI yang datang dengan gagah membawa skrip pengetahuan dan bersiap untuk menyuguhkan alunan kisah untuk di jilid.

Memihak bagian tengah, ruangan balok tersebut terasa hening dan hangat dengan peserta pengajian yang tidak lebih dari 10 orang yang rata-rata dari kalangan lansia, memang pengajian ini diadakan hanya untuk lansia dan pelaksanaanya pada akhir bulan, saat purnama sedang menghidupkan saklarnya dengan bangga.

            Untuk memulai sebuah awalan yang sunyi, mereka memesan beraneka jamu dan ketan. Dari jamu beras kencur bersanding ketan abang, jamu sinom bersanding ketan bubuk dan jamu kunyit asam bersanding onde-onde sebagai dessert yang tercantup disajak menu.

            “Assalamualikum wr.wb, kita buka pengajian kali ini dengan kekhusyukan senyum kalian, serta alfatihah agar senantiasa mengantongi barokah pada petak-petak kolbu yang berkubu. Alfatihah...” Pembukaan yang dibawakan oleh Gus Dur sebagai penerus dari salah satu mazhab aliran Nadhatul Ulama dan pemegang mimbar kepresidenan level 4.

            Serempak mereka mengangkat tangan, merapalkan do’a kesucian untuk memperlancar pengajian senja yang mulai berganti jubah.

            “Ayo mbah-mbah yang mau bertanya.” Pancing Gus Mus.

            Seketika peserta lansia mengacungkan secara bersamaan.

            “Weladalah, mboten saged lek sareng-sareng mbah. Ayo dari bagian kanan dulu, mbah yang pakek sarung kotak-kotak.” Ucap Cak Nun.

            Mbah itu pun berdiri dari tempat duduknya tanpa menghiraukan tongkat,vdia menegakkan kaki serta senyumnya.Membenarkan songkok yang sempat miring. Merogoh sesuatu dari kantong kemejanya lalu membuka secarik kertas yang kusut. Kemudian  membacakanya di depan peserta pengajian.

            “Mau tanya, apakah benar surga itu ada di telapak kaki ibu? Lalu bagaimana dengan orang yang sudah ditinggal oleh ibunya? Katanya Fizi di serial Upin Ipin series Ramadhan Penuh Makna, kalo nggak ada ibu berarti nggak ada surga.”

            Mendengar pertanyaan itu, semua peserta lansia menunggu jawaban dengan mimik serius. Mungkin pertanyaan itu sepele namun mereka para lansia harus tahu sebagai persiapan menemui ajal.

            “Hahaha, menurut hadist al-jannatu tahta aqdam al-ummahat, diriwayatkan Ibnu 'Addi dalam al-Kamil, dari jalur Musa bin Muhammad al-Maqdisi dari Ibnu Abbas, ”Surga itu (berada) di telapak kaki ibu, dari jalur manapun masuk dan dari jalur manapun pula keluar.” Ucap Gus Mus.

            “Jadi, setiap insan yang hidup harus berbakti kepada ibu agar mendapat ridho sehingga mampu mengumpulkan pahala dengan begitu surga tersebut dapat kalian tempati.” Jelas Cak Nun.

            Lansia wanita yang berada tidak jauh dari lansia pertama tersebut, mengacungkan tangan dan segera berdiri. Dengan daster yang sedikit kebesaran, dia menanyakan sesuatu dengan suara lantang.

            “Berarti kita harus mencium telapak kaki ibu agar bisa mendapatkan pahala?”

            “Hahahaha, tidak begitu juga mbah. Kulo lek ajenge tindak mesti mencium telapak tangan ibu bukan kaki.Jadi ganti saja dengan tangan biar barokahnya juga besar.” Jawab Sujiwo Tejo.

            “Anggapan surga ditelapak kaki ibu itu, kita tidak boleh membantah kepada ibu, harus menunduk dan menjalankan apa yang dia perintahkan.” Jelas Gus Dur

            Mereka pun mengangguk tanda mengerti.

            “Yok dulur, angkat tangan maneh seng ajenge tanya.” Ajak Sujiwo Tejo.

            Lansia wanita yang berada di pojok kiri mengacungkan tangan. Segera dia berdiri dengan memegang tongkat, menyampaikan apa yang akan dia tanyakan.

            “Seberapa jauh jarak neraka dengan surga?” tanya wanita tersebut.

            “Hahaha, aneh-aneh ae pertanyaan e. Semua yang di padang mahsyar itu rahasia tuhan, jadi kita tidak mungkin tahu” jelas Cak Nun

            “Yang terpenting sebelum kita masuk neraka atau surga, amal kita ditimbang terlebih dahulu. Jikaamal keburukan paling banyak kita akan disucikan terlebih dahulu di neraka kemudian diangkat ke surga, jika amal kebaikan yang paling banyak maka surga akan menanti kita.” Jelas Gus Dur.

            “Ada yang ditanyakan lagi, sebagai penutup dalam pengajian padang bulan kali ini.”

            Lansia pria yang duduk di tengah mengacungkan tangan dan memberikan pertanyaan.

            “Seberapa panas api di neraka?”

            Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Api yang biasa kalian nyalakan merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya neraka jahanam.” Jelas Gus Mus

            “Deng kono gaonok kipas utowo kulkas, adem e iku teko amal perbuatane masing-masing.” Akhir Sujiwo Tejo.

            Mereka pun saling mengangguk tanda mengerti, tertawa bersama merasakan kehangatan yang memburu sembari melahap apa yang telah mereka pesan. Para punokawan ulama akan terus melestarikan Pengajian Padang Bulan yang selalu dilaksanakan di akhir bulan dipenghujung bulan purnama dan bertempat di cabang Bar Padang Bulan yang menyebar di seluruh pijakan pertiwi.

 

Jember, 21 Oktober 2021

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil