Penulis: Galih Widodo*
Beberapa tempat di daerah Jember telah teridentifikasi keberadaan situs bersejarah kuno atau klasik peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha. Di antaranya berupa sebuah prasasti yang berbetuk alat music gong (Prasasti Batu Gong) yang ditemukan di areal tanaman jati (jatian) Dusun Kaliputih Rambipuji.
Pada prasasti tersebut ada torehan lima huruf Pallawa yang berbunyi Parvvateswara, yang artinya ‘Dewa Gunung’, dan merupakan symbol Syiwa, yang diperkirakan kronois dengan era Kerajaan Kanjuruhan di Malang atau Mataram Lama (Bhumi Mataram) di Pegunungan Dieng yaitu berkisar tahun 650-750 Masehi.
Keberadaan peninggalan situs kuno di Jember dapat disimpulkan sebagai bagian dari adanya interaksi antara penguasa lokal dengan raja atau bangsawan. Penguasa lokal inilah yang memimpin suatu tatanan pemerintahan kecil pada komunitas yang berdiam di tempat tersebut. Peninggalan dalam bentuk prasasti yang dibuat raja dan penguasa untuk menandai suatu peristiwa.
Pada tahun 1993 Williem F. Stutterheim, seorang ahli purbakala Belanda yang tekun mengkaji situs kuno di Ujung Timur Jawa melakukan observasi arkeologi terhadap keberadaan sebuah batu tertulis di Dusun Kaliputih Rambipuji. Prasasti itu dikenal dengan nama Batu Gong. Hasilnya, aksara tersebut bisa dibaca sekaligus diketahui kekunoannya (oudheidkundig). Bahan material prasasti dibuat dari batu andesit. Tapi sangat disayangkan informasi dari pakar asing tersebut tidak banyak membantu menguak lebih detail tabir historisnya.
Menurut arkeolog M.M. Sukarto Karto Atmodjo, Jember merupakan daerah Topographia Sacra yakni daerah suci atau sakral. Dengan demikian membuktikan bahwa masyarakat Jember sejak jaman dulu memiliki kemampuan local genius yang tinggi dan selanjutnya menjadi local development (pengembangan lokal).
Karenanya beberapa arkeolog Belanda yang meneliti tentang jaman prasejarah di Jember seperti salah satunya W.F. Stutterheim dalam tulisannya yang berjudul “Oundheidkondige Aanteekeningen No. XVLI” dengan sub judul “de Oudste Insceriptie van Oost Java” meneliti Prasasti Batu Gong yang terletak di bukit pinggir jalan raya Kaliputih Desa dan Kecamatan Rambipuji.
Penamaan Batu Gong karena pada bagian atas batu alam yang cukup besar itu terdapat sebuah ‘puncu’ (Jawa) atau bulatan yang berbentuk gong, yaitu sebuah alat music tradisional atau orang Jawa menyebut “bende” atau “bande”
Menurut pendapat dari sejarawan M.M. Sukarto Karto Atmodjo bahwa Prasasti Batu Gong adalah peninggalan masa prasejarah pada era Neolitikum (Batu Muda). Penggunaan batu itu sebagai kelengkapan dari ritual prasejarah yang kemudian diteruskan pada masa Hindu (kerajaan Hindu). Hal ini dibuktikan karena di bagian samping terdapat sebaris tulisan dengan huruf Pallawa yang diperkirakan dari Hindu aliran Syiwa.
Dalam suatu penelitian pada prasasti yang ditemukan di Dusun Kaliputih Rambipuji tersebut, arkeolog Belanda W.F. Stutterheim berasumsi bahwa Prasasti Batu Gong Rambipuji merupakan prasasti tertua di Jawa Timur yang diperkirakan pada abad ke -6 Masehi.
Berdasarkan keterangan penduduk setempat, keberadaan prasasti tersebut pada awalnya berada di bukit (gumuk) yang menjadi areal tanaman jati di sebelah barat jalan raya jurusan Balung-Puger-Kencong dan Kecamatan Lumajang.
Pada sekitar tahun 1966 organisasi massa KAMI/KAPPI Jember di kala maraknya demonstrasi menentang G 30 S/PKI, secara beramai-ramai melengserkan Prasasti Batu Gong dari atas bukit sehingga berubah posisi agak ke bawah. Kemudian massa mengubur batu prasasti itu agar tidak tampak lagi. Digulingkan dan dipendamnya Prasasti Batu Gong dengan maksud agar tidak terjadi pemujaan atau ritus terlarang yang mengarah pada kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Prasasti tersebut terbuat dari bahan batu kali (andesit) yang keras dan didapatkan di daerah itu. Pada awalnya prasasti berada di bukit kecil di sebelah barat jalan raya, lalu untuk mendapatkan bentuk asli dari batu ini maka kemudian diadakan penggalian kedalaman lebih dari satu meter pada sekeliling batu.
Pada masa colonial tepatnya pada bulan Desember 1933 Williem F. Stutterheim, seorang arkeoloh Belanda telah melakukan penelitian tentang kekunoan (oudheidkundig) di lokasi prasasti dan berhasil membaca aksara tersebut. Menurut hasil penelitiannya, diduga tonjolan pada prasasti sebagai lingga. Lingga adalah sebuah arca atau patung, yang merupakan sebuah sarana pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Lingga (swalingga) juga merupakan obyek berbentuk tegak, tinggi yang melambangkan fallus (penis) atau kemaluan Syiwa.
Tentang kajian arkeologis dan perbandingan aksara yang dilakukan W.F. Stutterheim menyatakan tentang keberadaan prasasti yang berasal dari masa sebelum Majapahit lahir. Tonjolan pada batu itu ditafsirkan sebagai sisa kerucut yang awalnya sebuah lingga (pasangan dari yoni menurut mitos Hindu) tersebut lalu dipotong/terpotong (?) seperti kita memotong nasi tumpeng.
Dengan keterangan di atas, Prasasti Batu Gong Rambipuji bisa diperkirakan berasal dari antara tahun 650-732 Masehi. Kalau dugaan ini benar, prasasti tersebut tergolong peninggalan masa klasik tertua di Jawa Timur. Prasasti Batu Gong ini konon pernah ditafsirkan dengan angka tahun 788 Masehi, sebagai bagian atau yang berhubungandengan peradaban Kerajaan Blambangan Kuno (Sukatman, 2014:330)
Keterangan tentang siapa yang membikin atau meletakkan batu tersebut di lokasi ini masih menjadi pertanyaan besar. Belum ada keterangan yang menjelaskan lebih rinci dan mendalam tentang Prasasti Batu Gong ini.
Bahkan arkeolog India, Himansu Bhusan Sarkar, mengatakan Prasasti Batu Gong berasal dari abad ke-5 Masehi, sezaman dengan prasasti Tarumanegara di Jawa Barat. Hal itu berdasarkan bentuk (tipe) tulisan yang ditinjau dari segi paleografi (bentuk aksara kuno). Prasasti yang dimaksud Himasu Bhusan Sarkar adalah Prasasti Ciaruteun yang terdapat gambar tapak kaki raja Purnawarman.
Hal itu berdasarkan pada bentuk atau tipe tulisan yang ditinjau dari segi paleografi (bentuk aksara kuno) yang ada kemiripan dengan prasasti yang dimaksud. Prasasti Batu Gong berukuran panjang 218 cm, lebar 180 cm dengan tinggi 120 cm.
Dengan penemuan Prasasti Batu Gong menunjukkan bahwa pada abad V atau VII Masehi di sekitar tempat ini sudah terdapat pemukiman (settlement) yang relative ramai. Bahkan diduga kuat sudah ada sistem pemerintahan meskipun hanya setingkat desa atau di atasnya. Ditengarai, sebuah masyarakat Hindu sudah lahir di Dusun Kaliputih Rambipuji, dan nama (toponimi) ‘Rambipuji’ kemungkinan besar terkait erat dengan upacara ritual atau pemujaan atau pujian pada para dewa sehubungan dengan adanya prasasti tersebut.
Penulis merupakan guru sejarah SMA Nuris Jember