[Kolom KIR] Peran ‘Biruma’ dalam Menjaga ‘Birumu’

Penulis : M. Nidhor & Alyaa N.

“Birumu semakin kurindukan, jernihmu semakin menghilang, tergantikan oleh abunya”. Kita mungkin tak sadar, laut yang memberi kita kehidupan mulai memudar. Air sungai yang dulunya jernih hingga bebatuan terlihat sekarang telah tergantikan dengan buih- buih keabuan. Ikan yang dulu bahkan hingga sekarang kita konsumsi mulai trecemar zat kimia. Bagaimana tidak? Hal tersebut dikarenakan pencemaran air.

Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk industri yang kini mulai menipis. “Air merupakan sumber kehidupan”, hal tersebut merupakan pernyataan penting yang perlu ditanyakan. Di era modern, saat kebutuhan akan air bersih terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Akan tetapi, pencemaran terjadi dimana-mana apalagi di perairan yang sudah tak asing di telinga kita. Penyebabnya pun beragam mulai dari sampah, kayu, logam, limbah pabrik, limbah peternakan dan pertanian,  serta zat kimia dari detergen.

Mendengar kata detergen sudah tak asing lagi bagi kita, detergen merupakan salah satu produk yang sering digunakan untuk menghilangkan kotoran pada pencucian pakaian di industri laundry maupun rumah tangga. Umumnya detergen tersusun atas tiga komponen yaitu, surfaktan, builders, dan zat aditif dengan kadar yang relatif tinggi, sadarkah kita akan dampak yang akan terjadi dengan senyawa-senyawa tersebut? Senyawa tersebut akan berdampak pada kehidupan ekosistem perairan seperti rusaknya kualitas perairan yang diakibatkan oleh polutan zat-zat tersebut.  Alam pun kini bertanya-tanya adakah solusi akan permasalahan ini? Menyikapi hal ini Santri Nuris pun tak tinggal diam berawal dengan ketertarikan mereka pada dunia penelitian, mereka mengatasi ini dengan sebuah inovasi yang inovatif, kreatif, serta bersifat ramah lingkungan yaitu  BIRUMA (biodetergen daun waru dan putri malu).

Seperti yang kita ketahui biodetergen merupakan detergen yang berasal dari bahan-bahan organik salah satunya daun waru serta putri malu. Pemilihan tanaman-tanaman ini didasari oleh landasan teori bahwa daun waru dan putri malu memiliki kandungan senyawa saponin yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai biodetergen. Selain itu, tanaman putri malu merupakan tanaman liar yang menjadi hama di lingkungan sekitar. Biodetergen memiliki banyak keunggulan salah satunya adalah bersifat ramah lingkungan yang dibuktikan dengan pengujian daya tahan pada mahluk hidup dan didapatkan hasil bahwa biodetergen lebih bersifat ramah lingkungan jika dibandingkan dengan detergen berbahan dasar kimia yang lain. Selain itu, biodetergen dapat membantu mewujudkan salah satu program pemerintah yang ada yaitu SDGs terutama goals ke 6 yang bertujuan untuk mencapai air bersih dan sanitasi serta Gerakan Nasional Indonesia Bersih (GNIB).

Mungkin kalian bertanya- tanya, mengapa harus daun waru dan putri malu? menurut Martodisiwojo dan Rajakwangun (1995), pada zaman dahulu daun waru digunakan dalam pengobatan tradisional akar waru digunakan sebagai pendingin bagi sakit demam, daunnya sebagai obat batuk, diare, amandel dan bunganya digunakan sebagai obat trakhoma dan masuk angin. Sedangkan disisi lain daun waru merupakan salah satu daun yang memiliki kandung zat aktif tinggi berupa saponin, flavonoida, fenol dan tanin” (Pujo, 2009). Salah satu kandungan pada tanaman waru yang dapat dimanfaatkan adalah saponin. Pada pohon waru, saponin terdapat baik dalam daun maupun akar. Kadar saponin pada daun waru 12,9 mg/g (Istiqomah dkk., 2011). Hal tersebutlah yang membuat kami menggunakan daun waru sebagai bahan dasar biodetergen. Kemudian bagaimana dengan daun waru? Putri malu merupakan tumbuhan liar yang dianggap sebagai gulma oleh masyarakat, padahal jika ditinjau dari kandungannya sendiri putri malu adalah salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai antimikroba patogen pangan (Parhusip, dkk., 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abirami, dkk. (2014) menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan putri malu memiliki kemampuan penghambatan terhadap aktivitas bakteri dan jamur patogen. Hal ini didukung dengan uji fitokimia yang menunjukkan adanya senyawa saponin yang memiliki potensi untuk menghambat mikroba (Ranjan, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Jaya (2010) menyebutkan bahwa akar putri malu memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa aktif akar putri malu yang berkhasiat sebagai anti bakteri adalah saponin. Kandungan tersebutlah yang menjadikan putri malu cocok sebagai bahan dasar pembuatan detergen.

Selanjutnya untuk cara pembuatan BIRUMA memiliki beberapa tahapan. Sebelum menuju proses pembuatan BIRUMA kita harus mempersiapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan dalm pembuatan BIRUMA dibagi menjadi 2, alat untuk penghalusan bahan serta alat untuk pembuatan BIRUMA. Alat yang digunakan dalam proses penghalusan yaitu blender, gunting, pisau serta wadah untuk menampung hasil dari penghalusan. Kemudian untuk alat yang digunakan dalam pembuatan BIRUMA ialah tabung reaksi, pH meter, gelas beker, pengaduk., gelas ukur, timbangan, pembakar spirtus, triangel, dan ayakan. Selanjutnya bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan BIRUMA berupa daun waru 100g, putri malu 100g, HCL(2n) 100ml, dan Aquades 1000ml. Untuk tahap selanjutnya yaitu penghalusan daun waru dan putri malu. sebelum ke tahap penghalusan bahan dikeringkan terlebih dahulu, dalam proses pengeringan bahan membutuhkan waktu 1 hari penuh dengan keadaan cuaca cerah. Setelah melakukan pengeringan bahan, dilanjutkan dengan penghalusan daun waru dan putri malu dengan menambahkan aquades sebanyak 100ml.

Setelah proses penghalusan daun waru dan putri malu, dilanjutkan dengan memanaskan bahan dengan pembakar spirtus selama 2 jam. Proses pemanasan bertujuan untuk membunuh bakteri serta mengeluarkan sedikit kandungan saponinnya. Kemudian untuk tahap selanjutnya yaitu pencampuaran HCL(2n). HCL(2n) adalah campuran aquades dengan HCL dengan takaran 98ml dan 2ml. Setelah proses pemanasan selama 2 jam, dilanjutkan dengan mencampurkan anara daun waru dan putri malu dengan HLC(2n). Pencampuran ini bertujuan untuk mengeluarkan kandungan saponin secara maksimal.

Kemudian untuk proses selanjutnya untuk penelitian ini yaitu pengujian pada produk BIRUMA untuk mengetahui apakah sesuai standar dengan detergen pada umumnya? untuk pengujian biodetergen memiliki beberapa tahapan yaitu uji busa kandungan saponin pada BIRUMA, uji kadar pH, uji massa jenis, uji kestabilan busa, serta uji ketahanan pada mahluk hidup. Untuk pengujian yang pertama adalah uji busa kandungan saponin yang bertujuan untuk membuktikan adanya senyawa saponin pada sampel tanaman putri malu. Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh peneliti membuktikan bahwa produk BIRUMA menghasilkan busa yang tinggi dengan tinggi awal 5cm menghasilakan busa setinggi 5cm.

Kemudian untuk pengujian yang kedua adalah uji coba kadar pH. Uji pH penting dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh detergen saat kontak dengan kulit. Dalam pengujian tersebut didapatkan dengan menggunakan pH meter dan produk BIRUMA memiliki pH 9 yang aman jika terkena kulit. Selanjutnya untuk pengujian yang ketiga adalah uji coba massa jenis yang bertujuan untuk mengetahui kekentalan pada suatu cairan. Dalam pengujian ini didapatkan massa jenis produk BIRUMA dengan menggunakan persamaan rumus perbandingan massa dengan volume (ρ = m/v) dengan massa sebesar 30g dan volume sebesar 31 cm3, dengan massa serta volume tersebut didapatkan bahwa massa jenis BIRUMA sebesar 0,96g/cm3. Uji kestabilan busa adalah uji coba yang ke empat. Uji kestabilan busa yang didapatkan dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) dan putri malu (Mimosa pudica) bahwa daun waru dan putri  malu  mengandung saponin dengan terbentuknya busa stabil dengan mengukur tinggi busa dibagi dengan tinggi keseluruhan dan didapatkan hasil sebesar 0,50 cm selama 1 menit. Dasar reaksi uji busa adalah sifat senyawa saponin yang mudah larut dalam air dan menimbulkan busa ketika dikocok. Fungsi air adalah sebagai pelarut, sedangkan HCl 2n berfungsi sebagai pereaksi (Suharto et al., 2012). Pengukuran kestabilan busa dilakukan untuk mengukur ketinggian busa dengan menghitung perbandingan antara tinggi busa dan tinggi keseluruhan (larutan + busa).

Kemudian unutk uji coba yang terakhir adalah uji coba ketahanan pada mahluk hidup. Uji ketahanan pada mahluk hidup dilakukan dengan cara memberikan biodetergen kepada mahluk hidup berupa jentik-jentik. Uji coba ini bertujuan untuk mengukur berapa lama mahluk hidup bertahan jika diberikan biodetergen BIRUMA jika dibandingkan dengan detergen lainnya untuk membuktikan apakah BIRUMA bersifat ramah lingkungan. Pada uji coba kali ini peneliti menggunakan jentik-jentik sebagai media yang digunakan dan didapatkan bahwa BIRUMA memiliki ketahan pada mahluk hidup lebih lama di bandingkan dengan detergen pada umumnya. dibutuhkan waktu 9,5 jam untuk jentik-jentik mati jika memakai produk BIRUMA sedangkan untuk detergen pada umunya hanya membutuhkan waktu 0,3 jam yang dapat diasumsikan bahwa produk BIRUMA merupakan produk yang ramah lingkungan.

Kesimpulan dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah berupa biodetergen BIRUMA dengan perbandingan  dengan kulitas baik dan memiliki tingkat efektifitas kadar busa yang tinggi yaitu dengan kandungan kadar saponin menghasilkan busa setinggi 5cm, tingkat kestabilan busa mencapai  0,50 dalam waktu 1 menit, dengan ph 9 serta massa jenis sebesar 0,95 gr/cm3. Dengan adanya inovasi ini diharapkan akan mewujudkan SDGs ke-6 dalam upaya mengurangi pencemaran air akibat limbah detergen. Serta mewujudkan progam Gerakan Nasional Indonesia Bersih (GNIB).

Karya Tulis Ilmiah ini meraih Juara 3 LKTI Tingkat Nasional

  1. Muchammad Nidhor Fairuza(XI IPA 1)
  2. Alyaa Nur Karimah (Xl IPA 1)
  3. Randi Juliyastira (XI IPA 1)

Lomba ini diadakan oleh KSE UNTAD S. S. C Universitas TADULAKO Sulawesi yg dilaksanakan pada Rabu, 19 Mei 2021 dan diumumkan lewat zoom pada Sabtu, 31 Juli 2021 pukul 10:50 WIB.

Judul Karya:BIRUMA: Studi Potensi Efektivitas Penambahan Putri Malu Pada Biodetergen Daun Waru Terhadap Peningkatan Kadar Saponin

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil